Monday, November 30, 2009

Mencermati Konsep Etika Kebebasan Mu’tazilah

Oleh: M. Faisol Fatawi

“… betapa tidak berartinya pengakuan Mu’tazilah terhadap “free will”
dan betapa menyesatkan jika dikatakan seolah-olah Mu’tazilah
merupakan pendukung etika murni kebebasan”
(Madjid Fakhry: 1953)

Pendahuluan
Al-Qur’an telah memaparkan secara jelas berbagai pernyataan tentang kekuasaan Tuhan atas segala yang terjadi di atas dunia ini, termasuk di dalamnya perbuatan manusia. Khusus berkaitan dengan kekuasaan Tuhan atas perbuatan manusia, al-Qur’an tampak memberikan pernyataan yang kontradiktif. Satu sisi, kekuasaan Tuhan atas perbuatan manusia dijelaskan bersifat absolut, dan pada sisi lain ditegaskan bahwa manusialah yang memiliki kekuasaan atas perbuatannya.
Dalam sejarah teologi Islam, kelompok yang berpegang pada absolusitas kekuasaan Tuhan atas perbuatan manusia lebih dikenal dengan sebutan jabariah, sementara yang berpegang pada otoritas kebebasan perbuatan ada pada tangan manusia lebih dikenal dengan paham qodariah. Paham yang ingin menengai di antara kedua konsep ini dipelopori oleh seorang tokoh, yaitu al-Asy’ari yang dikenal dengan teori kasb-nya.
Tulisan ini, secara terfokus, berusaha memahami lebih dalam tentang ajaran teologi Mu’tazilah yang –selama ini—selama ini dikenal sebagai “pejuang” etika kebebasan atau pengibar paham qadariah.


Pancasilanya Kaum Mu’tazilah Vis-a-Vis Ideologi Negara
Dasar pertama yang dicanangkan oleh Mu’tazilah adalah al-Tauhid. Paham al-Tauhid ini tidak saja mereka gunakan untuk menghindari penyekutuan Tuhan (al-Syirk bi Allah), namun lebih jauh merupakan persoalan esensial, yaitu menafikan sifat-sifat untuk dimasukkan (dilekatkan) pada Tuhan. Allah menurut mereka bukanlah terdiri dari dzat dan sifat yang melekat pada dzat, bahkan sifat-Nya itu sendiri merupakan “kasunyatan” dzat-Nya (Ain Dzatihi). Oleh karena itu, di sana tidak ada dzat ketuhanan (dzat ilahiyah) yang padanya dilekatkan sifat berkehendak (al-iradah), kemampuan (al-qudrah), pengetahuan (al-ilm), dan lain-lainnya, sebagaimana halnya manusia. Tetapi Tuhan menurut mereka bersih (baca: suci) dari dan tidak membutuhkan pada sifat-sifat yang dapat disandarkan pada-Nya sehingga Dia dapat disebut Yang Maha Mengetahui (Alim), Yang Maha Kuasa (Qadir), dan seterusnya (Abdul Jabbar, 1965: 128-129).
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa Tuhan tidak memiliki pengetahuan, tidak memiliki kekuatan, tidak berkehendak, dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa, dan sebagainya, tetapi berkuasa dan sebagainya, bukanlah sifat dalam arti kata yang sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui”, demikian menurut Abu Hudzail, adalah bahwa Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Pengetahuan Tuhan adalah esensi Tuhan itu sendiri (Abu Hasan Ibn Ismail al-Asy’ari, 1930: 177-178). Lebih jauh al-Juba’i menegaskan, bahwa arti “Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya adalah untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat atau membutuhkan pada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Penjelasan agak berbeda juga dikemukakan oleh Abu Hasyim. Menurutnya, arti “Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya adalah bahwa Tuhan memiliki keadaan untuk mengetahui (al-Syihristani, t.t.: 81).
Masih dalam kerangka menegakkan tauhid (mengesakan Tuhan), kaum Mu’tazilah memaparkan empat sifat Tuhan yang azali, yaitu hidup (al-hayat), dahulu (al-qidam), berkuasa (al-qudrah), dan mengetahui (al-ilm). Keempat sifat ini inhern dalam diri-Nya (fi dzatih), dan oleh karena itu dinamakan al-shifah al-dzatiah. Di mana pun dan kapan pun sifat-sifat tersebut ada dalam dzat-Nya (Abdul Jabbar, 1965: 74).
Prinsip berikutnya adalah al-Adl. Menurut mereka al-Adl adalah bahwa Tuhan tidak berbuat dzalim: bahwa perbuatan Tuhan adalah baik. Ketika manusia melakukan kezaliman dengan mencuri, berbohong, dan atau membunuh misalnya, maka perbuatan ini tidak mungkin disandarkan kepada Tuhan, tidak mungkin kalau semua perbuatan itu diciptakan oleh Tuhan. Oleh karena itu, perbuatan buruk hanya layak dinisbahkan kepada manusia: manusialah yang menciptakannya (Muhamad Abed al-Jabiri, 1991: 56).
Abdul Jabbar sendiri menegaskan, bahwa maksud predikat baik (hasanah) yang disandarkan pada perbuatan Tuhan adalah baik dari aspek hikmah, bukan dari aspek pandangan atau pengamatan seseorang. Sebuah perbuatan dapat dikatakan baik (hasanah) dari segi penglihatan, tetapi buruk dari segi hikmahnya. Namun sebaliknya, dianggap baik (hasanah) dari segi hikmah dan buruk dari segi penglihatan (Abdul Jabbar, 1965: 132).
Keadilan Tuhan menurut kaum Mu’tazilah digunakan dalam konteks maslahah. Segala yang diperbuat oleh Tuhan pada hamba-Nya adalah demi kemaslahatan hamba itu sendiri. Kalau toh Tuhan memberikan rasa sakit pada seorang hamba milsanya, itu hanya demi kemaslahatan dan kepentingan dirinya sendiri. Jika tidak demi kemaslahatannya, tentu Tuhan akan menyalahi kewajiban-Nya. Oleh karena itu, menurut Mu’tazilah Tuhan tidak memberikan pembebanan pada hamba-Nya kecuali sesuai dengan kepampuannya (Abdul Jabbar, 1965: 133). Dari sinilah al-Adl kemudian menjadi argumen mendasar bagi konsep etika kebebasan manusia dan kemampuannya untuk berbuat, dan pada gilirannya pertanggunganjawabnya atas perbuatan yang dilakukan (Harry Austryn Wolfson, 1976: 616).
Karena perbuatan Tuhan terhadap hamba-Nya dalam pandangan kaum Mu’tazilah dipandang sebagai sesuatu yang memiliki hikmah dan demi kemaslahatan yang bersangkutan, meskipun akan berdampak pahit padanya jika dilihat dari segi penglihatan, sehingga perbuatan Tuhan diidentikkan dengan perbuatan baik (hasanah) sementara perbuatan buruk berasal dari tangan manusia, maka sangat tidak adil bagi Tuhan untuk tidak memberikan ganjaran atas apa yang telah dikerjakan oleh seorang hamba. Pemberian ganjaran atau balasan kepada hamba atas perbuatannya menjadi prinsip dasar esensial tersendiri di kalangan Mu’tazilah. Prinsip ini kemudian lebih dikenal dengan dengan al-Wa’d wa al-Wa’id.
Al-Wa’d wa al-Wa’id, menepati janji dan menjalankan ancaman merupakan perbuatan Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil manakala Dia tidak menepati janji untuk memberi upah (ganjaran) kepada orang yang berbuat baik. Demikian pula ketika Tuhan tidak memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Jika Dia tidak melaksanakan janji dan ancaman-Nya, maka ini akan membuat Tuhan memiliki sifat dusta: tidak mungkin Dia bersifat ingkar, dan akan bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan ancaman musti merupakan kewajiban bagi-Nya (Harun Nasution, 1986: 133).
Menurut Abdul Jabbar, al-Wa’d adalah suatu khabar yang mengandung sampainya kemanfaatan pada yang lain atau dapat mencegah kemadlorotan padanya di masa mendatang. Sementara al-Wa’id adalah suatu khabar yang mengandung
sampainya kemadlorotan pada yang lain atau terputusnya kemanfaatan darinya di waktu mendatang. Oleh karena itu, Tuhan berjanji akan memberi pahala bagi orang yang taat dan mengancam dengan siksa bagi yang mbangkang (maksiat), sebagaimana yang telah di-nash-kan. Menyalahi hak Tuhan merupakan kedustaan, sementara berdusta adalah perbuatan buruk (qabih), dan Tuhan tidak berbuat buruk (Abdul Jabbar, 1965: 136-137). Maka tidak masuk akal jika Tuhan akan memasukkan orang mukmin ke dalam neraka, sementara orang kafir ke dalam surga.
Apabila seorang mukmin dijanjikan oleh Tuhan masuk sorga dan orang kafir masuk ke dalam neraka, lalu bagaimana dengan orang mukmin yang melakukan dosa besar seperti melakukan zina, membunuh atau perbauatan lain yang sejenis dan sebanding dengannya? Masuk neraka atau masuk sorga? Kaum Mu’tazilah menjawab pertanyaan itu, bahwa orang yang berdosa besar tidak masuk neraka dan juga tidak masuk sorga, tetapi berada di antara dua tempat atau yang lebih dikenal dengan al-Manzilah Bain al-Manzilatain yang kemudian dijadikan prinsip dasar keempat. Istilah al-Manzilah Bain al-Manzilatain juga dikenal dengan nama al-Asma’ wa al-Ahkam (Abdul Jabbar, 1965: 137).
Barangkali tokoh pertama kali yang memperkenalkan pikiran tersebut di atas adalah Wasil bin Atho’. Prinsip al-Manzilah Bain al-Manzilatain didapat oleh Wasil ketika ia mengikuti majlis Hasan al-Bashri, yaitu ketika Hasan al-Bashri ditanya tentang munculnya fenomena sebagian kaum muslimin yang menghukumi kafir dan telah keluar dari agama bagi orang melakukan dosa besar, sementara kelompok lain menyatakan bahwa pelaku dosa besar tidak dapat merusak keimanan, lalu Hasan al-
Bashri ditanya, bagaimana pendapat anda tentang itu? Belum sempat menjawab pertanyaan itu, Wasil bin Atho’ mengajukan jawaban: “saya tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar masih mukmin atau malah kafir, tetapi ia berada di antara dua tempat (al-Manzilah Bain al-manzilatain), tidak mukmin dan tidak kafir (al-Syihristani, t.t.: 48).
Prinsip dasar yang terakhir adalah al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy an al-Munkar. Kaum Mu’tazilah mengatakan, bahwa merupakan kewajiban setiap muslim untuk menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar. Seorang muslim wajib mengubah kemunkaran dengan pedang dan tangan manakala ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. Kewajiban melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, menurut mereka, didasarkan pada sebuah ayat, “Kalian adalah sebaik-sebaik umat yang dilahirkan untuk manusia supaya melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar” (QS. Ali Imran: 110).
Ada beberapa persyaratan untuk melaksanakan prinsip al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy an al-Munkar. Pertama, seseorang harus benar-benar mengetahui bahwa yang diperintahkan (al-ma’mur bih) itu adalah kebajikan (ma’ruf), dan yang dilarang (al-manhiy anhu)itu benar-benar kemunkaran, sebab jika seseorang tidak mengenalnya dengan sungguh-sungguh, tentu apa yang akan ia lakukan berdasar pada prasangka, bukan pengetahuan, dan ini tidak boleh dilakukan. Kedua, seseorang harus mengerti kalau kemunkaran itu hadir di depannya, misalnya di depannya terlihat ada alat-alat yang tersedia untuk mabuk-mabukan. Ketiga, seseorang harus menyadari bahwa tindakan yang akan dilakukan tidak membawa dampak kemadlorotan yang lebih besar, misalnya seseorang itu melarang minum khamer tetapi pelarangannya itu menyebabkan akan terbunuhnya umat Islam dalam jumlah yang lebih besar. Keempat, seseorang harus menyadari dengan penuh keyakinan bahwa apa yang hendak ia katakan (untuk amar makruf dan nahi munkar) mempunyai pengaruh atau pasti berdampak. Kelima, seseorang harus menyadari sepenuh hati bahwa apa yang akan dilakukan tidak berdampak madlorot pada diri atau hartanya (Abdul Jabbar, 1965: 142-143).
Dalam pelaksanaan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy an al-Munkar tersebut, Abdul Jabbar membaginya menjadi dua macam. Ada amar makruf dan nahi munkar yang hanya dapat dilakukan oleh para imam, dan yang dapat dilakukan oleh manusia pada umumnya. Yang hanya bisa dilakukan oleh para imam seperti menegakkan hukum agama, menjaga pemurnian agama Islam, mengerahkan pasukan, mengangkat hakim dan pimpinan, dan yang sejenis dengannya. Sementara yang dapat dilakukan oleh masyarakat umum seperti melarang minum khamer, mencuri dan berbuat zina, dan yang sejenis dengannya (Abdul Jabbar, 1965: 148).
Kelima prinsip dasar sebagaimana tersebut di atas saling terkait antara satu sama lain, terutama tiga prinsip yang terakhir terkait erat dengan dua prinsip pertama, yaitu al-Tauhid dan al-Adl. Dengan kata lain, bahwa tiga prinsip terakhir merupakan cabang dari dua prinsip yang pertama. Prinsip al-Wa’d wa al-Wa’id terkait secara langsung dengan keadilan Tuhan untuk melaksanakan janji dan ancaman-Nya sebagaimana yang telah di-nash-kan. Demikian pula prinsip al-Manzilah Bain al-Manzilatain, karena Tuhan tidak akan adil jika hukum orang mukmin yang taat dan orang mukmin yang fasiq disamakan; hukum orang yang fasiq dengan hukum orang yang kafir juga tidak sama. Prinsip amar makruf dan nahi munkar juga masih dalam kerangka keadilan Tuhan, karena Tuhan hanya berbuat baik dan yang terbaik untuk manusia, maka segala yang tidak baik dan terbaik merupakan perbuatan manusia, dan karenanya harus dicegah. Maka tidak heran jika kaum Mu’tazilah disebut dengan Ashab al-Tauhid wa al-Adl atau al-Adliah (al-Syihristani, t.t.: 43). Lalu mengapa bisa demikian? Apakah yang terjadi sebenarnya di balik prinsip al-Tauhid dan al-Adl?
Masalah yang menggelitik hati para mutakallimin awal adalah sifat Tuhan al-Ilm. Sifat ini diperdebatkan oleh masing-masing kelompok, antara mereka yang mengakui kebebasan berkehendak manusia dan mereka yang menolak kebebasan berkehendak. Yang menolak kebebasan berkehendak menyatakan, bahwa Tuhan memiliki pengetahuan yang azali, dan oleh karena itu Tuhan pasti mengetahui sejak azali dan tentu Dialah yang telah mentakdirkan perbuatan manusia sejak azali. Kelompok ini kemudian dikenal dengan Jabariah. Sementara Mu’tazilah berpegang pada kebebasan berkehendak pada manusia.
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa para penguasa Umaiyah dalam menjalankan roda pemerintahannya lebih banyak menggunakan legitimasi keagamaan, yaitu bahwa apa yang terjadi merupakan takdir dan keputusan Tuhan. Penguasan Umaiyah telah menggunakan term Khalifah Allah, dengan memaknainya sebagai utusan dan wakil Tuhan di muka bumi atau sebagai bayangan Tuhan. Segala yang mereka lakukan diatasnamakan takdir dan keputusan Tuhan: mereka telah menggunakan ideologi jabariah sebagai legitimasi kekuasaan. Karena itu, siapa saja yang melawan atau menentangnya, maka ia dituduh telah melawan otoritas Tuhan (Montgomery Watt, t.t.: 84).
Konon diriwayatkan, bahwa khalifah Abdul Malik bin Marwan ketika memerintahkan untuk membunuh Amr bin Said, menyuruh melemparkan kepalanya di hadapan para mukhlishin yang telah menunggu di depan istana menanti kedatangannya, bahkan menyuruh supaya diumumkan bahwa “amirul mukminin telah membunuh teman kalian atas dasar keputusan (Tuhan)”. Ini menunjukkan bahwa penguasa Umaiyah telah menisbatkan kehendak Tuhan (al-Iradah al-Ilahiah) kepada dirinya: menggunakan konsep jabariah (Nashr Hamid Abu Zaid, 1996: 20).
Di tengah kelaliman penguasa Muawiyah inilah Mu’tazilah menegaskan prinsip al-Tauhid dan al-Adl, dengan manyatakan bahwa manusia adalah bebes berkehendak dan bertanggungjawab atas perbuatannya. Sebenarnya Mu’tazilah, dengan menafikan sifat pada Tuhan (al-Tauhid) dan menagaskan kebebasan berkehendak (al-Adl), ingin mempertegas sikap oposisional-antagonistik dan mengkritik praktek para penguasa Umaiyah. Apabila penguasa Umaiyah telah menggunakan agama sebagai demi kepentingan politiknya: menundukkan agama ke dalam politik, maka Mu’tazilah juga telah menjadikan agama untuk melawan otoritas politik pemerintah Umaiyah. Sampai dapat dipahami, bahwa lima prinsip dasar yang dikemukakan oleh Mu’tazilah merupakan ungkapan teologis melawan politik Umaiyah yang sewenang-wenang dan lalim (Muhamad Abed al-Jabiri, 1991: 58-59).

Paradoksitas Konsep Kebebasan Berkehendak Mu’tazilah
Bahwa Mu’tazilah dalam beberapa literatur teologi Islam dikenal sebagai eksponen free will (kebebasan bertindak), meskipun di kalangan ulama Mu’tazilah sendiri tidak ada kesamaan pendapat mengenainya. Apa yang dimiliki manusia dalam kaitannya dengan aktifitas moral?, kira-kira itulah pertanyaan yang mencuat dan memaksa mereka untuk mencoba menggabungkan antara tanggungjawab manusia dan kekuasaan Tuhan.
Wasil bin Atho’, juru bicara Mu’tazilah pertama, menyatakan bahwa Tuhan itu Maha Bijaksana dan oleh karenanya ketidakadilan dan kejahatan tidak dapat
dihubungkan atau disandarkan pada-Nya. Tuhan pun tidak mungkin membuat manusia untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan-Nya. Manusia, menurutnya, mengetahui di dalam dirinya sendiri bahwa ada kekuatan dan perbuatan, dan siapapun yang mengingkarinya berarti mengingkari keniscayaan (Harry Austryn Wolfson, 1976: 617). Lebih jauh Tsumamah menegaskan, apabila perbuatan manusia berasal dari Tuhan, tentu manusia tidak berhak mendapat ganjaran atau hukuman: tidak berhak atas pujian dan celaan (Montgomery Watt, t.t.: 86-87).
Pendapat yang serupa dinyatakan oleh al-Jubai, bahwa manusia adalah pencipta perbuatannya sendiri: berbuat baik dan buruk, patuh dan ingkar kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri (al-Baghdadi, t.t.: 135-136). Sementara Abdul Jabbar mengatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan perbuatan pada diri manusia, tetapi manusialah yang mewujudkan perbuatan itu. Perbuatan adalah apa yang dihasilkan oleh manusia dengan daya yang bersifat baru (Abdul Jabbar, 1965: 324).
Pendapat liberal Mu’tazilah tentang manusia adalah pencipta tindakannya sendiri, mendapat serangan yang cukup besar dari mereka yang anti-Mu’tazilah. Dengan paham kebebasan berkehendak-nya, Mu’tazilah dinilai telah mensekutukan Tuhan atau mereka telah terjebak ke dalam paham polytheisme, bahkan Asy’ari menuduhnya sebagai orang yang tidak butuh lagi kepada Tuhan (Harun Nasution, 1986: 106).
Terlepas dari keberatan yang diajukan oleh mereka yang tidak sepaham dengan Mu’tazilah, namun yang jelas paham kebebasan berkehendak sebagaimana yang diajukan Mu’tazilah telah melahirkan paradoks yang nyata. Harus dikaui, pada satu sisi Mu’tazilah adalah kelompok yang mempertahankan mati-matian keesaan Tuhan, dan untuk mempertahankannya mau tidak mau mereka harus mempertahankan kekuasaan Tuhan yang tak terbatas di dunia. Namun pada sisi lain, pernyataan tentang bahwa manusia adalah pencipta tindakannya dapat dilihat sebagai pandangan yang membatasi kekuasaan Tuhan (Madjid Fakhry, 1953: 96).
Supaya dapat keluar dari paradoks tersebut dan sekaligus menangkis serangan atau keberatan yang diajukan oleh mereka yang anti-Mu’tazilah, Abu Hudzail al-Allaf mengajukan dua teori tentang tindakan manusia, yaitu bahwa ada dua macam tindakan manusia. Pertama, tindakan yang diketahui modalitasnya, dan kedua tindakan yang tidak diketahui modalitasnya. Yang pertama dari manusia dan yang kedua dari Tuhan (Madjid fakhry, 1953: 98). Sebagai contoh dari tindakan yang pertama adalah efek rasa sakit yang ditimbulkan oleh perbuatan memukul dan contoh dari tindakan kedua dapat dilihat pada rasa panas dan dingin. Tindakan yang pertama dapat dikategorikan ke dalam tindakan langsung (efek dihasilkan dari aksi (al-amal) secara berurutan), sementara yang kedua tidak langsung. Tindakan yang terakhir ini dikalangan Mu’tazilah lebih dikenal dengan al-af’al al-mutawalidah (Ibrahim Madkur, t.t.: 107-108).
Mu’tazilah juga berusaha keras merasionalisasikan paradoks-paradoks tersebut dengan mencoba memperkenalkan gagasan tentang nature. Menurut mereka, apapun yang terjadi di luar jangkauan kemampuan manusia, itu disebabkan oleh Tuhan melalui tuntutan penciptaan (alam), misalnya saja batu yang bergerak. Maka apapun yang terjadi di alam itu disebabkan oleh tindakan awal Tuhan secara tidak langsung (Madjid Fakhry, 1953: 100).
Lebih jelas Mu’ammar mengatakan, bahwa eksistensi body berasal dari Tuhan, sementara eksistensi aksiden harus dikaitkan dengan aksi (tindakan) dari body itu sendiri, baik secara alami maupun disadari dalam diri manusia. Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan, bahwa Tuhanlah yang menyebabkan munculnya aksiden kecuali secara tidak langsung melalui agen body yang memunculkan aksiden-aksidennya secara alami. Ini dilakukan Mu’ammar untuk menghindarkan tanggungjawab Tuhan atas perbuatan dosa manusia di dunia (Madjid Fakhry, 1953: 102). Pendapat Mu’ammar ini sangat dengak dengan pendapat an-Nazzam tentang tindakan manusia; manusia adalah substansi yang berkehendak dengan body. Manusia diberi kekuatan, inisiatif, dan pengetahuan (Madjid Fakhry, 1953: 103).
Usaha tokoh Mu’tazilah untuk keluar dari paradoksitas pemahaman yang telah mereka bangun; dengan prinsip tauhid mereka hendak menegakkan kekuasaan mutlak Tuhan pada satu sisi, dan kebebasan berkehendak manusia sebagai wujud keadilan Tuhan pada sisi yang lain, dengan mengajukan konsep al-af’al al-mutawallidah berujung pada pemisahan dua wilayah, yaitu dunia kehendak dan dunia alam. Pemisahan ini akan berakibat fatal pada pemecahan yang memadai terhadap problem kebebasan, yang berarti bahwa manusia bebas memutuskan untuk dirinya sendiri meskipun ia tidak mampu menjalankan keputusan-keputusannya. Gagasan tentang nature juga hanya akan menempatkan efek dengan secara mudah pada tahapan yang lebih jauh di luar jangkauan kehendak manusia.
Kategori bahwa manusia itu mampu menentukan dirinya sendiri atau mampu bertindak dengan dirinya sendiri, merupakan kategori simplistis yang diajukan oleh Mu’tazilah dengan berangkat dari gagasan teologis; mengenai keesaan dan keadilan Tuhan, yang terkait dengan realitas politik pada saat itu. Untuk melindungi gagasan itu mereka mencoba merasionalisasikan problem tentang tindakan manusia dengan cukup mempostulatkan bahwa manusia mampu menentukan dirinya sendiri; mampu bertindak dengan dirinya sendiri.
Meskipun Mu’tazilah mengasumsikan bahwa manusia adalah pencipta tindakannya sendiri, namun tetap terjebak pada pemostulatan metafisika atom dan aksiden, yang secara umum ditandai sebagai occusionalism. Prinsip dasar dari metafisika ini adalah segala sesuatu di dunia terdiri dari dua elemen penting, atom dan aksiden.


Penutup
Semuanya sepakat bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan. Namun mengkaji tentang kehendak manusia dan keterbatasannya dalam realitas kehidupan tetap akan menyimpan misteri, bahkan tampak paradoks di hadapan kekuasaan Mutlak Tuhan. Sampai aliran filsafat yang paling kritis pun akan menghadapi paradoks-paradoks itu dalam mencermati esensi tindakan manusia sebagai makhluk Tuhan. Usaha yang telah dilakukan Mu’tazilah merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari itu.
Bagaimanapun juga pemikiran Mu’tazilah tentang problem kehendak manusia merupakan sumbangan intelektual yang berharga bagi dunia Islam. Kritik dan ana- lisis cermat harus tetap dilakukan terhadapnya untuk mengoreksi paradigma yang
ditimbulkannya dan melihat kemungkinan paradigma lain yang –mungkin—lebih dapat diterima oleh semangat anak zaman. [mff]

Daftar Pustaka

Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, ditahklik oleh Imam Ahmad bin Husein bin Abi Hasyim, Abdul Karim Usman (ed.), (Maktabah Wahbah, Kairo: 1965), cet. I

Abdul Qahir bin Tohir bin Muhammad al-Baghdadi, al-Farqu Bain al-Firaq (Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut: t.t.)

Abu al-Hasan Ibn Ismail l-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, Hilmut Ritter ed. (Mathba’ah al-Daulah, Constantinopel: 1930), Vol. II

Al-Mahdi Lidinillah Ahmad bin Yahya bin al-Murtdla Ibn al-Mufadlol bin Mansur al-hasani al-Yamani, Kitab al-maniah wa al-Amal fi Syarh al-Milal wa al-Nihal, Muhammad Jawad Masykur ed. (Dar al-Fikr, Beirut: 1989), cet. I

Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of The Kalam (Harvard University Press, London: 1976)

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan (Universitas Indonesia Press, Jakarta: 1986)

Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiah: Manhaj wa Tathbiq (Dar al-Maarif, Mesir: t.t.), Vol. II

Lorens Bagus, Kamus Filsafat (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1996), cet. I

Madjid Fakhry, “Some Paradoxical Implications Implications of The Mu’tazilite View of Free Will”, The Muslim World, No. XLIII/1953

Muhammad Abed al-Jabiri, al-Turas wa al-Hadatsah (al-Markaz al-Tsiqafi al-Arabi, Beirut: 1991), cet. I

Muhammad Ibn Abd al-Karim al-Syihristani, al-Milal wa al-Nihal, Abdul Aziz Muhammad al-Wakil ed. (Dar al-Fikr, Beirut: t.t.)

Nasr Hamid Abu Zaid, al-Ittijah al-Aqli fi al-Tafsir: Dirasah fi Qadliyah al-majaz fi al-Qur’an Inda al-Mu’tazilah (al-Markaz al-Tsiqafi al-Arabi, Beirut: 1996), cet. III

Nasr Hamid Abu Zaid, al-nash al-Sultah al-Haqiqah (al-Markaz al-Tsiqafi al-Arabi, Beirut: 1995), cet. I

W. Montgomery Watt, The Formative Priode of islamic Thought (One World Oxford: t.t.)

Sunday, November 29, 2009

Mendekonstruksi Tabu-tabu Seksual

Oleh: M. Faisol Fatawi

Seks merupakan sesuatu yang natural dan kodrati dalam diri kita. Ia bekerja secara naluriah setiap kali syaraf mata kita menangkap stimulus tertentu atau indera kita yang lainnya menangkap stimulus yang sejenis. Ini menyebabkan mengapa di dunia yang sudah global sekalipun, seks tetap muncul sebagai daya tarik tersendiri di antara sekian banyak persoalan. Pengeksploitasian seks secara massif, baik seperti yang ada dalam iklan TV atau dalam media cetak, merupakan contoh kecilnya. Ini menunjukkan betapa pemahaman kebanyakan orang terhadap seksualitas baru hanya pada aspek yang menyangkut genitalitas dan organ seks sekunder lainnya saja. Seks dipahami hanya dari dimensi bilogis-fisiknya saja, tidak dari dimensi behavioral, psiko-sosial, klinis atau dimensi kulturalnya. Lebih ironisnya lagi, di tengah masyarakat seks masih dianggap tabu.
Dalam buku yang cukup tebal, dalam ukuran buku saku ini, FX Rudy Gunawan mengajak untuk mendobrak seks. Menurut penulis buku ini, sebenarnya seksualitas merupakan persoalan filosofis yang urgen dan aktual dalam rangka memahami identitas seksualnya atau eksistensi dirinya sebagai homo sexsualis. Karenanya, esensi dari eksistensi manusia terletak di dalam seksualitasnya. Pentabuan seks, dalam berbagai bentuknya, lebih merupakan bentuk-bentuk campur tangan kepentingan lain: kekuasaan politk, ekonomi, agama dan lain-lain.
Dalam konteks politk, selama ini, sexual identity lebih merupakan sebuah political idea atau sebuah ide politik yang selalu dimanfaatkan oleh para penguasa untuk melakukan fungsi kontrol terhadap masyarakat. Dalam konteks ini, untuk membicarakan seks, kita harus menggunakan perumpamaan-perumpamaan, penghalusan-penghalusan, atau bentuk retorika kiasan dan metafor. Bahasa benar-benar dikendalikan dengan ketat. Maka akibat selanjutnya adalah muncul pelipat-gandaan wacana mengenai seks di dalama wilayah kekuasaan itu sendiri, yaitu berupa dorongan institusional untuk membicarakannya dan bahkan untuk semakin membicarakannya. Rezim Orde Baru misalnya, sebenarnya telah mentransfer cara pentabuhan seks selama berabad-abad yang dilakukan oleh berbagai rezim kekuasaan di mana-mana, meskipun terjadi secara tidak langsung. (hal. 51)
Dalam agama, pentabuan seks bermula dari persepsi tentang penciptaan Adam dan Hawa. Asumsi bahwa Adam diciptakan lebih awal katimbang Hawa dipandang sebagai penanda bahwa kaum laki-kali harus lebih dulu, harus nomor satu, dan bahkan harus lebih tinggi di atas perempuan. Akibatnya muncul ketidakseimbangan antara kaum laki-laki dan perempuan. Ketidakseimbangan posisi ini pada akhirnya berujung pada ketidak-adaan penghargaan terhadap tubuh: yang terjadi malah pengeksploitasian, pelecehan, bahkan kekerasan terhadap tubuh perempuan. (hal. 59)
Pentabuan seks akan melahirkan sikap tidak adil akan sexsual Identity atau pembedaan gender antara kaum laki-laki dan perempuan. Aturan perkawinan misalnya, di tengah masyarakat mestinya tidak dirancukan dengan nilai-nilai keperawanan (virginitas) sehingga yang terjadi kemudian adalah persepsi bahwa lembaga perkawinan merupakan legitimasi dari sebuah hubungan seks atau sexual intercouse.
Menurutnya, hubungan seksual sendiri sama sekali tidak membutuhkan legitimasi formal apapun karena hubungan itu sudah legitimate jika dilakukan atas dasar keinginan bersama, merupakan ekspresi dari hubungan emosional antara sepasang manusia, tidak merugikan salah satu pihak, dan bukan merupakan wujud penguasaan (dominasi) kaum laki-laki terhadap perempuan. Lembaga perkawinan lebih merupakan wujud komitmen lanjutan antara sepasang manusia tersebut dengan tujuan mempermanenkan hubungan tersebut, meneruskan keturunan, dan untuk memudahkan pendidikan terhadap anak-anak. (hal. 53-54) Maka persoalannya kemudian bukan kapan seorang perempuan melepas keperawannya, namun bagaimana ia melepaskan keperawanannya.
Di sini kemudian kita harus memahami seks sebagai wacana tubuh. Ini prinsip awal yang harus ditanamkan dalam setiap individu. Karena tubuh itu, secara nyata, mewakili kehormatan seseorang, maka kita harus mengormati integritas tubuh pasangan kita. Karena pernah menyetebuhinya, bukan berarti lantas kita harus memilikinya. Untuk itu seks harus dibicarakan sebagai sebuah bidang umum. Sebagai sebuah unsur yang sangat esensial dalam diri manusia yang menentukan keberadaan atau eksistensi manusia seutuhnya. Seks merupakan kodrat alamiah setiap manusia yang menjadi bagian yang integral dalam dirinya. Oleh karena itu, mencari nilai-nilai inheren atau intrinsik dari seksualitas menjadi menjadi lebih urgen dan signifikan.
Namun apabila manusia gagal atau tidak memahami kodrat seksualnya, maka yang terjadi adalah kebejatan moral. Kegagalan itu dapat dilihat dalam prilaku-prilaku seperti pedhofili dan korelasinya dengan pelacuran anak, prilaku sadomasochis atau sadisme dalam seks, dan insect. Seks yang semestinya harus dihormati sebagai bagian dari eksistensi kehidupannya yang mempunyai nilai-nilai intrinsik berubah, dijadikan sekedar alat ekspresi. (hal. 177-178)
Nilai-nilai sejati dari seksualitas harus dicari. Karena ternyata wacana seks mencakup hampir semua dimensi dan prisnip-prinsip dasar dalam kehidupan. Kausalitas pada manusia, alam bawah sadar manusia, prinsip-prinsip hubungan antara manusia, dan perkembangan suatu kebudayaan, semuanya berkembang dalam wacana seks. Bahkan kebejatan manusia, atau ukuran kebudayaan sekalipun.
Demikianlah penulis buku ini mengulas persoalan seksualitas dan hubungannya dengan realitas kehidupan sebagai sebuah sistem yang tak terpisahkan, bahkan melacak nilai-nilai sejati dari seks tersebut secara panjang lebar. Semuanya dilihat dari perspektif filosofis. Meskipun buku ini hadir dalam bentuk kecil, namun tuntas dalam mengungkap sersoalan tersebut, selain menarik untuk dibaca dan enak dipahami, terutama bagi mereka yang memiliki concern terhadap persoalan gender atau feminisme. Lebih-lebih dengan menggunakan pendekatan ala kaum strukturalisme seperti yang dilakukan oleh Claudia Levi-Strauss dengan analisanya tentang insect, buku ini semakin menunjukkan dimensi lain yang ‘baru’, dibanding dengan buku-buku yang sudah ada.[mff]


Tulisan ini pernah dimuat di Koran Harian Bernas Yogyakarta

Apa Yang Salah Dengan Sholat Berbahasa Indonesia?

Oleh: M.Faisol Fatawi


Menarik sekali membaca tulisan Hafidz J.M. yang berjudul "Salat Berbahasa Indonesia dalam Perspektif Syari'at Islam", yang dimuat dalam koran ini beberapa hari lalu (12-13 Mei 2005). Dalam tulisan itu saudara Hafidz telah menyatakan bahwa shalat berbahasa Indonesia --sebagaimana yang dipraktikkan oleh KH.M.Yusman Roy-- adalah tidak sah, bahkan tidak dibenarkan dan bertentangan dengan syari'at Islam.
Ada beberapa catatan untuk tulisan saudara Hafidz. Pertama, bahwa memang shalat merupakan jenis ibadah mahdlah. Ibadah ini wajib dilakukan oleh siapapun yang memeluk Islam. Bahkan kita semua memaklumi kalau Rasulullah pernah menyatakan "lakukanlah shalat sebagaimana kalian melihat (shalat)-ku". Namun demikian shalat yang bagaimanakah? Kaifiyah gerakan dan bacaannya seperti apa?
Jika kita menelisik literatur-literatur fiqh klasik, kita akan mendapatkan berbagai perbedaan mengenai kaifiyah gerakan dan bacaan shalat. Dengan kata lain, tidak ada kesepakatan bulat di kalangan fuqaha' mengenai kaifiyah shalat. Dalam masalah takbir misalnya, Ibn Rusyd dalam bukunya Bidayah al-mujtahid fi Nihayah al-Muqtashid telah merangkum beberapa pendapat. Di antaranya, bahwa takbir adalah wajib dalam setiap gerak shalat; takbir tidak wajib dalam seluruh gerakan shalat; dan yang wajib hanya takbiratul ihram. Tidak hanya itu. Perselisihan pendapat pun terjadi dalam masalah bacaan takbir yang baku: apakah Allahu Akbar saja atau bisa diganti dengan lafadz yang senada?, masalah basmalah dalam membaca surat al-Fatihah, masalah pengucapan salam… dst.
Masih dalam kerangka perselisihan kaifiyah shalat, bahwa ternyata di kalangan ulama juga terjadi perselisihan pendapat mengenai masalah membaca al-Fatihah: apakah harus dibaca seperti apa adanya (yakni sebagaimana bacaan dalam al-Qur'an yang menggunakan bahasa Arab) atau bacaan al-Fatihah itu boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Secara jelas, Abu Hanifah adalah salah seorang fuqaha' yang membolehkan bacaan al-Fatihah dengan bahasa terjemahannya, yaitu menggunakan bahasa Persi. Sementara seperti Imam Syafi'i dan yang lain mewajibkan bacaan al-Fatihah seperti apa adanya.
Fakta perselisihan pendapat dalam hal kaifiyah shalat tersebut di atas, semakin menggelitik pikiran kita untuk mempertanyakan kembali kesimpulan bahwa shalat berbahasa Indonesia tidak ada dalam syari'at Islam sehingga tidak dapat dibenarkan. Pendapat Gus Roy tidak jauh berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah membolehkan membaca al-Fatihah dalam shalat dengan menggunakan bahasa persi, sementara Gus Roy membacanya dengan bahasa Indonesia. Sampai sini kita pun jadi bertanya, apakah yang dimaksud oleh saudara Hafidz mengenai syari'at Islam? Lalu dari sekian banyak perselisihan pendapat, manakah kaifiyah (tuntunan) shalat yang sesuai dengan syari'at Islam?
Di sini, ada kerancuan mengenai maksud syari'at dengan fiqh (hasil ijtihad para ulama). Kewajiban melaksanakan shalat adalah syari'at. Yakni, sebuah jenis amalan wajib yang harus dipenuhi setiap pemeluk Islam. Tetapi, mengenai kaifiyah --seperti bahasa apakah yang harus digunakan untuk melafadzkan al-Fatihah (termasuk juga seluruh bacaan) dalam shalat-- merupakan masalah fiqhiyah yang masih bisa diperdebatkan sebagaimana yang terjadi di kalangan fuqaha' terdahulu. Fiqh bukanlah syari'at dan syari'at bukanlah fiqh.
Dengan demikian, pendapat yang dilontarkan Gus Roy mengenai shalat berbahasa Indonesia tidak bisa dinilai telah keluar dari syari'at Islam. Posisi pendapat Gus Roy berada dalam masalah fiqhiyah--padahal fiqh itu sendiri merupakan sekumpulan pendapat ulama mengenai suatu masalah dengan tetap mengacu pada dalil-dalil tertentu. Fiqh berisi tentang masalah furu'iyah dan bukan ushuliyah, dan karena itu kita tidak akan pernah menemukan kemufakatan seratus persen. Mengklaim pendapat bahwa shalat berbahasa Indonesia termasuk bukan syari'at Islam sama dengan mengingkari kerahmatan akan adanya perbedaan pendapat. Bahkan--dengan meminjam istilah Ali Harb--telah melakukan imprialisasi pemaknaan (imbriyaliyah al-ma'na).
Kedua, Hafidz dalam menilai pendapat Gus Roy terjebak dengan--apa yang disebut oleh Nasr Hamid Abu Zaid--arabisme. Arabisme yang dimaksud adalah pendapat Hafidz yang mengangap bahwa hanya melalui bahasa Arab-lah shalat itu dilaksanakan dan dianggap sah. Ini didasarkan pada ayat al-Qur'an yang berbunyi "Sesungguhya Kami menurunkan al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kalian memahami" (QS. az-Zukhruf: 3).
Sejatinya, ayat tersebut dipahami dalam konteks sejarah. Artinya, bahwa Nabi adalah keturunan dan berdomisili di tengah-tengah masyarakat jazirah Arab yang menjadikan bahasa Arab sebagai alat komunikasi dalam kesehariaan. Oleh karena mereka menggunakan bahasa Arab, maka sangat wajar jika Nabi dalam menyampaikan dakwah ke jalan Allah menggunakan bahasa Arab dan tidak bahasa orang-orang ajam. Ada hubungan timbal balik dalam pengertian QS az-Zukhruf tersebut. Andai saja dakwah Nabi tidak menggunakan bahasa Arab, maka dapat dipastikan akan mengalami hambatan yang sangat luar biasa, yaitu pesan ilahi tidak akan sampai kepada masyarakat setempat yang menjadi sasaran dakwah Islam pada saat itu. Dalam ayat lain dinyatakan "Dan kami tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan menggunakan bahasa kaumnya untuk menjelaskan kepada mereka" (QS Ibrahim: 4).
Jelaslah, bahwa penggunaan bahasa Arab dalam konteks penyampaian pesan ilahi tidak lain merupakan alat untuk mempermudah komunikasi. Pesan ilahi adalah esensi, sementara bahasa Arab merupakan medium komunikasi: padahal bahasa adalah sistem ujaran dan tanda yang terkait dengan pranata masyarakat penggunanya. Pesan ilahi bersifat universal, artinya dapat dipahami dang dijangkau dengan berbagai bahasa manusia. Oleh karena itu, jika al-Qur'an yang berisi pesan ilahi dipahami dan diterjemahkan dengan berbagai ragam bahasa manusia di luar bahasa Arab, maka hasilnya tetap pesan ilahi. Yang terpenting bukan medium bahasa yang dipakai, tetapi esensi pesan itu sendiri. Menganggap terjemahan al-Qur'an sebagai sesuatu yang sekunder dan tidak merupakan al-Qur'an itu sendiri berarti telah membatasi eksistensi Tuhan. Allah tidak hanya milik orang Arab, tetapi juga milik seluruh umat manusia. Tidak tersekat oleh batas wilayah geografis dan waktu.
Begitulah saudara Hafidz telah merancukan antara agama dengan pemikiran keagamaan, antara syari'ah dengan fiqh, dan ia juga telah menafikan dimensi historis dalam melihat kasus shalat berbahasa Indonesia yang difatwakan dan dilakukan oleh KH.M.Yusman Roy. Semestinya, kita mendudukkan masalah shalat berbahasa Indonesia itu pada tempatnya, yaitu sebagai persoalan fiqhiyah-furu'iyah. Syari'ah itu tidak sekedar sistem ritual dan lafadz, tetapi--dengan meminjam pengertian Said al-Asymawi--semangat universal untuk mengembalikan dan mengangkat manusia kepada derajat kemanusiaannya.


Tulisan ini pernah dimuat di Jawa Pos Radar Malang

Teror Atas Nama Kebenaran

Oleh: M.Faisol Fatawi

Belum selesai sidang kasus ajaran shalat dua bahasa (Gus Roy) dan buku "Menembus Gelap Menuju Terang" (Mohammad Ardi Husein) di Pengadilan Negeri, kini tuduhan ajaran sesat itu muncul lagi. Kali ini tuduhan sesat itu ditujukan pada Jamaah Ahmadiyah.
Sebenarnya, pencekalan dengan tuduhan sesat ajaran Jamaah Ahmadiyah sudah pernah terjadi sebelumnya. Itu terjadi tepatnya ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 80-an mengeluarkan fatwa sesat. Alasannya, karena ajaran yang disebarkan jamaah tersebut dinilai telah menyimpang dari Islam. Tetapi, Islam yang mana dan yang seperti apa?
Ahmadiyah yang didirikan oleh Hadzrat Mirza Ghulam Ahmad datang ke Indonesia sejak tahun 1925. Status Jamaah ini serupa dengan organisasi-organisasi Islam yang lain, seperti Muhammadiyah, NU dan lain-lainnya. Artinya, bahwa Ahmadiyah memiliki memiliki status hukum yang legal. Dan ini diperoleh sejak 1953.
Tidak ada perbedaan yang mendasar antara ajaran Ahmadiyah dengan ajaran yang dipegang teguh oleh organisasi-organisasi Islam yang lain di Indonesia. Dari segi sumber hukum, Ahmadiyah berpijak pada al-Qur'an dan hadits. Rukun iman dan rukun Islam-nya pun sama. Bahkan shalat yang mereka jalankan pun tidak jauh berbeda dengan jamaah keagamaan lain pada umumnya.
Barangkali, jamaah ini dituduhkan sesat karena konsep kenabian yang diyakininya, yang konon mereka disinyalir telah meyakini adanya nabi setelah nabi Muhammad Saw. Tetapi faktanya, mereka tetap meyakini Muhammad Saw sebagai nabi. Nabi yang mereka yakini tidak lebih dari sekedar penjelmaan Imam Mahdi al-muntadzar. Yang membedakan hanyalah pemahaman dan penalaran terhadap konsep itu.

Pluralitas Internal Islam
Munculnya perbedaan penafsiran dan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan dalam Islam bukan merupakan barang yang aneh dan diharamkan. Kesadaran akan perbedaan ini telah muncul dalam diri Nabi Saw sejak awal melalui sabdanya: "perbedaan (ikhtilaf) umat-ku merupakan rahmat".
Jika boleh dipahami, pernyataan Nabi tersebut mengisyaratkan kepada kita akan adanya realitas perbedaan pada dataran ontologis. Bahwa secara alami perbedaan itu merupakan suatu keniscayaan, dan ini tidak boleh dipungkiri. Hukum bahwa "perbedaan merupakan keniscayaan" berlaku secara mutlak dalam alam semesta ini.
Dalam praktik beragama, realitas perbedaan memang benar-benar terjadi di kalangan umat Islam pasca kematian Nabi. Perbedaan pemahaman itu muncul pertama kali dalam hal keimanan--yang kemudian dikenal dengan teologi. Dalam hal ini, umat Islam tidak saja dihadapkan pada model keimanan yang dipegang teguh oleh kelompok Sunni, tetapi juga Khawarij, Muktazilah, Murji'ah, Syi'ah, dan lain-lainnya.
Perbedaan konsep keimanan mendorong mereka (umat Islam) untuk melebarkan sayap perbedaan di dalam wilayah hukum praktis (fiqh). Puluhan bahkan ratusan produk hukum Islam (fiqh) difatwakan dari waktu ke waktu. Maka, muncullah apa yang kita kenal dengan madzhab fiqh: barangkali Syafi'i, Maliki, Hambali, Hanafi, Dawud Dzahiri, al-Laitsi, dan al-Auza'i hanyalah beberapa aliran yang dapat kita kenali sampai sekarang melalui khazanah pengetahuan yang ada.
Tentu perbedaan pemahaman yang termanifestasikan ke dalam madzhab seperti yang terjadi di masa silam akan lain bentuknya di zaman sekarang ini. Kini, perbedaan dalam beragama itu menjelma ke dalam organisasi-organisasi modern sebagaimana yang ada saat ini, meskipun secara genealogi pengetahuan--kadang--tidak dapat melepaskan diri dari formulasi konsep sebelumnya. Tetapi, tak jarang pula yang secara terang-terangan mengikuti madzhab yang sebelumnya pernah eksis atau kadang mengklaim dirinya tidak bermadzhab sama sekali.
Semua kenyataan perbedaan itu merupakan realitas historis akan adanya pluralitas internal dalam tubuh Islam. Islam adalah tunggal dan sekaligus plural. Islam adalah ibarat payung besar yang menaungi berbagai ragam pemahaman terhadapnya. Perbedaan internal justru semakin menampakkan keindahan dan sekaligus kekuatan Islam itu sendiri. Menganggap bahwa Islam itu tunggal sama dengan mengingkari realitas sejarah umat Islam itu sendiri.

Dialog Antar-kebenaran
Tidak ada seorang pun atau kelompok di dunia ini yang bisa mengklaim bahwa dirinyalah orang yang paling benar atau berada dalam kebenaran. Hanya Tuhan yang Mahabenar, karena segala sesuatu yang ada di alam semesta ini bersumber dari-Nya. Isyarat ini secara jelas telah dinyatakan misalnya saja dalam QS al-Baqarah: 147 dan Ali Imran: 60: "Kebenaran berasal dari Tuhan-mu, dan janganlah kalian menjadi orang-orang yang ragu".
Dalam konteks pluralitas internal Islam, isyarat yang ditunjukkan ayat tersebut di atas semakin menemukan signifikansinya. Artinya, bahwa tidak dibenarkan adanya klaim kebenaran (truth claim) mutlak bagi masing-masing kelompok dalam internal Islam. Bagi mereka, yang ada hanyalah kebenaran nisbi yang bersifat sangat relatif.
Maka jelaslah, bahwa dalam Islam tidak ada klaim kebenaran. Sikap itu bertentangan dengan ajaran agama. Sikap merasa benar sendiri antar-sesama pengikut agama (internal) tidak saja mencoreng citra agama itu sendiri, tetapi juga telah mengaburkan misi progresifitas agama dalam menata dan membangun peradaban manusia ke arah derajat yang lebih mulia.
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi masing-masing kelompok (aliran) internal dalam agama Islam untuk melakukan dialog. Yaitu, mendialogkan kebenaran yang dicapai sebagai bentuk dari pengalaman dalam memahami dan menghayati ajaran dan teks-teks keagamaan. Dalam dialog juga harus dilakukan--dengan meminjam istilah Ali Harb--kritik kebenaran (naqd al-haqiqah). Kritik kebenaran ini tidak berarti saling mencari kelemahan argumentasi: yang lemah argumentasinya itulah yang salah sedangkan yang kuat argumentasinya itulah yang benar. Tetapi, mendialogkan kebenaran sebagai bentuk pencerahan penalaran (pemahaman) dalam membangun kehidupan umat manusia.
***
Seperti dikatakan Imam Ali bin Abi Thalib, bahwa "Ia (al-Qur'an) tidak dapat berbicara, yang berbicara atas nama al-Qur'an adalah orang-orangnya". Itu artinya bahwa akal seseorang dan tingkat pengetahuan pemahaman merekalah yang menentukan dan membentuk makna (kebenaran). Jika memang demikian, lantas sampai kapan fatwa atau tuduhan sesat terhadap individu dan kelompok (aliran) dalam agama bisa diakhiri? Tuduhan-tuduhan sesat dalam beragama tidak lain merupakan bentuk dari teror atas nama kebenaran.[mff]

Wajah Seks dalam Agama-agama

Oleh: M.Faisol Fatawi

Seks merupakan masalah yang penting bagi kehidupan manusia. Masalah ini hadir di dalam diri kita secara alami. Setiap kali syaraf mata kita menangkap stimulus tertentu, naluri seks langsung bekerja. Karena begitu penting, maka tak heran jika agama --yang telah diklaim sebagai pedoman kehidupan-- turut serta menjadikan seks sebagai hal yang harus diatur dalam agama. Bahkan hampir dapat dipastikan, bahwa tidak ada agama yang menafikan masalah seks.
Dalam setiap agama, seks dianggap sebagai sesuatu (baca: sarana) yang bertujuan prokreasi, yakni meneruskan ciptaan Tuhan. Manusia pertama dikabarkan beranak pinak, sehingga hubungan seksual digunakan untuk meneruskan dan melanggengkan ras keturunannya. Karena itu, masalah seks dalam agama telah menampakkan wajah sakralitasnya. Dengan kata lain, bahwa urusan seks dalam agama tidak saja menjadi masalah biologis semata, tetapi menjadi hal yang "suci".
Wajah seks yang seperti itu dapat dilihat dalam tradisi agama-agama yang lahir di belahan tanah India, dimana seks ditampilkan secara vulgar dengan model ilahiah dan sekaligus kemanusiaan. Dalam hal ini, kita dapat menemukan cerita-cerita yang menggambarkan sosok seorang dewa yang dipahami sebagai lambang keperkasaan kejantanan (baca: seksual). Dewa itu tidak lain adalah Siwa: sang dewa seks dan sekaligus dewa asketisme. Gambaran seperti ini tertulis dalam epik Mahabarata.
Gambaran lebih jelas juga dapat disaksikan dalam buku panduan seks yang sangat terkenal seperti Kamasutra. Buku ini bisa dikatakan sebagai "kitab suci" yang tidak saja memuat pujian-pujian kepada para dewa, tetapi sekaligus berisi tentang seni hubungan seks antara laki-laki dan perempuan. Bahkan membacanya menjadi semacam kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang calon pengantin.
Demikian halnya tradisi keyakinan agama yang tumbuh subur di dataran Cina. Gagasan mengenai masalah seks dalam tradisi agama Cina (khususnya Taoisme) tidak dapat lepas dari teori yang telah dikembangkan dari I Ching. Ada Yin dan Yang. Yin adalah simbol kelembutan seorang perempuan, sedangkan Yang merupakan simbol keperkasaan laki-laki. Untuk memperoleh energi seksual yang luar biasa, antara Yin dan Yang harus disatukan. Pertukatan timbal balik antara keduanya, diyakini mampu menghasilkan keserasian yang sempurna dan hubungan seksual, bahkan konon dapat meningkatkan stamina dan memperpanjang usia. Gagasan Yin dan Yang ini menyerupai gagasan In dan Yo di Jepang.
Sementara itu, gagasan mengenai seks dalam tradisi agama-agama Semitik tidak menampakkan wajah yang begitu syuur. Wajah seks lebih dibungkus dalam kerangka normatifitas teks, yang cerminannya dapat ditemukan dalam pengalaman seorang nabi. Baik dalam Islam, Kristen maupun Yahudi, tidak ditemukan adegan-adegan tertentu yang termanifestasikan ke dalam bentuk buku panduan maupun pahatan-pahatan berbentuk cerita, yang bersifat visual.
Demikianlah, agama-agama menggambarkan dan berbicara tentang persoalan seks dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Namun, hal yang tidak dapat dinafikan bahwa agama telah memberikan makna baru terhadap masalah seks, dari sekedar persoalan badaniah-alami menjadi persoalan yang sakral: aktifitas seksual merupakan bentuk ibadah dan menjadi bagian ritus pemujaan.[mff]

Thursday, November 26, 2009

Membunuh Nafsu Hewani

Oleh: M. Faisol Fatawi

Setiap manusia dilahirkan dengan nafsu. Nafsu merupakan wajah lain dari kemauan atau keinginan. Dalam diri manusia, nafsu laksana ruh yang dapat mendorong dalam melakukan sesuatu. Semua amal perbuatan seseorang mesti didahului oleh kemauan. Dorongan nafsu dalam diri seseorang selalu bermuara dalam dua pilihan, mengarah pada jalan kebajikan atau jalan keburukan; ketakwaan atau kekufuran (lihat QS. asy-Syams). Siapa yang mampu mengendalikan keinginan nafsunya ke arah yang baik, maka ia mendapat tempat yang mulia. Sementara siapa yang terbelenggu oleh nafsunya maka akan mendapat balasan yang hina. Bagi manusia, nafsu dapat menjadi kekuatan positif sejauh ia dapat mengendalikannya.
Istilah nafsu merupakan kata serapan dari lafaz nafs yang berarti diri, isi atau inti dari sesuatu yang bersifat halus. Istilah nafs seringkali dihadapkan dengan sesuatu yang bersifat materi, dan oleh karena itu muncul anggapan bahawa dalam diri manusia terdapat nafs dan madiyah (materi). Nafs bagi diri manusia tidak lain adalah ruh, sedangkan madiyah merupakan jasad atau wadag. Ruh seringkali identik dengan kesucian, sementara wadag dianggap sebagai sesuatu yang penuh dengan kotoran. Dikotomi seperti ini sampai sekarang masih dipegang sebagai pandangan dalam sementara umat Islam.
Sebuah adagium filsafat sering kita dengar, bahwa manusia didefinsikan sebagai hewan yang berakal (al-insan huwa al-hayawan al-nathiq). Manusia adalah sejenis (bergenus) hewan. Yang membedakan adalah manusia memiliki kemampuan untuk bernalar atau berpikir dengan kekuatan akal yang dimilikinya, sementara hewan tidak memiliki potensi sebagaimana yang dalam diri manusia.
Dengan kapasitas kemampuan seperti itu, maka manusia ditempatkan sebagai makhluk yang mulia atau yang dalam bahasa agama disebut dengan ahsan taqwim. Bahkan Allah secara nyata menyebut bahwa diri-Nya telah memuliakan anak turun Adam, sehingga ia disodori amanat dan mereka pun menerima untuk memikul amanat itu (QS. al-Isra’: 70). Perjanjian inilah yang kemudian lebih dikenal dengan perjanjian primordial antara manusia dengan Tuhan.
Secara garis besar, nafsu yang bercokol dalam diri manusia dikelompokkan menjadi dua. Yaitu, nafsu yang bergerak ke arah kebaikan atau yang dalam istilah al-Qur’an disebut sebagai nafs al-muthma’innah yang baginya akan mendapat tempat yang mulia di sisi Tuhan (QS. al-Fajr: 27-30). Sementara yang lain adalah nafsu yang senantiasa mendorong manusia untuk melakukan kejelekan dan keburukan. Nafsu jenis yang terakhir inilah yang identik dengan nafs al-hayawaniy. Nilai kemanusiaan seseorang akan menurun setingkat nilai kebinatangan manakala mereka tidak mampu mengendalikan potensi yang dimilikinya. Nafsu yang muthma’innah harus selalu dipelihara dan dipertahankan, sementara nafsu yang al-hayawaniy harus dihilangkan dari diri manusia.
Dalam diri manusia, nafsu al-hayawaniy harus ‘dihilangkan’, sehingga tidak melahirkan perilaku-perilaku atau amal perbuatan negatif. Momen Idul Adha kali ini mungkin dapat dijadikan pelajaran berharga bagi kita untuk ‘membunuh nafsu hewani’ yang bercokol dalam diri setiap insan; muara lahirnya perilaku mencuri, korupsi, iri dan dengki, sifat pemarah dan seterusnya. Penyembelihan hewan kurban merupakan isyarat simbolik akan hal itu, dan bukan sekedar memisahkan nyawa hewan dari wadagnya dengan diiringi tahmid dan takbir, lalu dagingnya kita bagi-bagikan kepada yang lain, dan kemudian dinikmati bersama. Jika penyembelihan itu dipahami sebagai kegiatan bagi-bagi daging dan lantas dinikmati bersama—dan melenceng dari pesan esensialnya, tentu hal ini tidak berbeda dengan kegiatan ‘mayoran’ untuk makan-makan bersama. Na’udzu billah min dzalik![mff]

Wednesday, November 25, 2009

Simbolisme Hewan Kurban

Oleh: M. Faisol Fatawi

Idul Adha adalah salah satu momen penting dalam Islam. Ia merupakan hari besar kedua setelah Idul Fitri. Di hari yang agung ini, setiap muslim diperintah untuk banyak melantunkan bacaan takbir dan tahmid. Tak kalah penting lagi, penyembelihan hewan kurban dilakukan seusai shalat Ied. Penyembelihan ini telah menjadi ikon tersendiri. Bahkan kata Idul Adha itu sendiri mengandung arti “hari penyembelihan”, yakni penyembelihan hewan kurban.
Cerita mengenai penyembelihan hewan kurban telah masyhur dan termaktub dalam al-Qur’an. Bahwa nabi Ibrahim dalam suatu mimpi didatangi oleh malaikat Jibril, dan mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih putranya (Ismail). Rasa berat menggelayuti diri Ibrahim, namun apa boleh buat semua itu merupakan perintah Allah. Sang putra Ismail juga tidak pantang surut ketika mengetahui bahwa perintah penyembelihan dirinya datang dari Allah. Justru, Ismail malah berusaha sekuat tenaga menepis keraguan ayahnya. Akhirnya, upacara penyembelihan disiapkan. Leher Ismail telah siap menerima gesekan pedang. Namun, yang terjadi justru Allah mengganti tubuh Ismail dengan seekor domba.
Kini, penyembelihan hewan kurban telah menjadi ritual dan tradisi keagamaan bagi umat Islam dimanapun mereka berada. Tidak semua orang diwajibkan untuk berkurban, hanya mereka yang mampu saja. Dalam praktinya, tradisi keagamaan yang satu ini terkesan dipahami sebagai bentuk ritual penyembelihan tahunan dan kadang dijalankan mirip dengan pemberian santunan yang bersifat karikatif, atau bahkan dijadikan sebagai ajang hura-hura dan senang-senang, sehingga lupa pada makna esensialnya. Sungguh sebuah ironi jika memang ini yang terjadi.
Sebenarnya, ritual penyembelihan hewan kurban merupakan ilustrasi yang bagus untuk suatu bentuk komunikasi nonverbal antara hamba dengan Tuhan. Dalam hal ini terjadi pertukaran benda: hamba mempersembahkan hewan kurban dan Allah sebagai Dzat maha tinggi yang menerima. Nabi Ibrahim dengan suka rela mengorbankan putra tercintanya, namun oleh Allah diganti dengan seekor domba, lalu Allah memerintahkan Ibrahim untuk membuka matanya dan menyadari bahwa Allah telah menerima kurbannya.
Hubungan antara manusia dengan Tuhan tentu berbeda dengan hubungan manusia dengan makhluk yang lain. Dalam proses komunikasi melalui hewan kurban tergambar bahwa hamba yang berkurban menyadari akan apa saja yang diinginkan dan dikehendaki oleh Tuhan, dan bahwa dirinya tidak memiliki kekuatan apa-apa selain tunduk pada kehendak-Nya. Jelas, ini merupakan bentuk kepasrahan penuh manusia kepada Tuhannya. Ketundukan seperti ini penting dalam rangka perjalanan spriritual untuk mendatangi dan menghadap sang Khalik kelak, karena memang hanya kepada Allah-lah tempat kembali.
Dalam proses ritual penyembelihan hewan kurban juga dapat ditemukan sebuah bentuk penegasan persahabatan dan solidaritas sosial. Hewan kurban yang telah disembelih tidak dibuang secara sia-sia. Dagingnya dibagi-bagikan secara merata. Baik yang miskin maupun yang kaya mendapat bagian yang sama. Karena memang secara syar’i tidak ada nash yang mengatur untuk itu. Tidak seperti zakat misalnya, yang mustahiq-nya sudah ditentukan.
Pada akhirnya, kita pun tidak dapat memungkiri bahwa ritual penyembelihan hewan kurban merupakan suatu tindakan religius yang diyakini dapat merubah keadaan moral orang-orang yang melaksanakannya. Ia telah menjadi media komunikasi antara yang duniawi dan yang sakral. Antara hamba dan Tuhannya. Sebuah dialog yang tak akan pernah berakhir selama nafas kehidupan terus berjalan. Kita butuh kearifan hati dan kejernihan pikiran untuk memahami dan memaknai arti dari sebuah penyembelihan hewan kurban.[mff]

Tuesday, November 24, 2009

Wukuf dan Semesta Kemanusiaan

Oleh: M. Faisol Fatawi

Istilah wukuf berasl dari kata w-q-f yang berarti berhenti. Wukuf merupakan salah satu rangkaian ibadah (ritual) yang harus dilakukan oleh setiap orang yang sedang melaksanakan haji. Wukuf di Arah berarti berhenti sejenak di tempat itu. Waktu wukuf adalah awal zuhur tanggal 9 Dzul Hijjah sampai sebelum terbit matahari tanggal 10 Dzul Hijjah. Wukuf menjadi rukun kedua di dalam ibadah haji.
Wukuf menjadi momen yang sangat penting bagi jamaah haji tidak saja dari aspek ritualitas keagamaan ibadah haji, tetapi sebagai peristiwa sejarah kemanusiaan. Terdapat peristiwa penting yang mengiringi kenapa wukuf itu menjadi hal yang istimewa dalam haji. Tepatnya, di Arafah nabi menyampaikan pidato terakhirnya ketika sedang berhaji bersama para sahabat-sahabat beliau, atau yang kemudian di kenal dalam sejarah Islam sebagai haji wada’ (haji perpisahan). Dalam pidato itulah, berkali-kali Rasulullah Saw mengatakan: “Ambillah manasik dariku, karena barangkali setelah tahun ini kalian tidak bisa menemuiku lagi.”
Ada hal-hal penting yang dapat kita ambil hikmah dari peristiwa wukuf di Arafah. Ketika para hujjaj berhenti (mampir) di Arafah sejenak, Arafah menjadi lautan yang dipenuhi oleh ribuan manusia. Semuanya hadir ke tengah lapang Arafah dengan memakai baju ihram yang serba putih-putih, tidak ada satupun yang berberda warnanya. Baik mereka yang kaya maupun miskin, yang berkulit hitam maupun putih, baik yang tampan maupun yang berwajah buruk, yang tua maupun yang muda, dan seterusnya, semuanya berjubel menjadi satu dalam tanah lapang Arafah. Ketika itu, semua manusia sama. Tidak ada satupun yang berbeda. Semua di hadapan sang Khaliq sama rata. Nilai-nilai ke-egaliter-an menjadi pesanyang tidak dapat ditolek oleh setiap mereka yang berhaji.
Oleh karena itu, wukuf di Arafah sebenarnya menjadi dimensi ruang dan waktu bagi manusia untuk menumbuhkan sikap keadilan semesta. Dalam batas ruang dan waktu, para hujjaj selama di Arafah merasakan adanya persamaan sejati antar sesama umat manusia melalui pengalaman riil. Dimensi ruang dan waktu tentang adanya perasaan yang sama bukan sekedar menjadi sesuatu yang imajiner. Tetapi, semua itu berada dalam ruang dan waktu yang riil dan nyata.
Kalau merunut sejarah, kita mungkin jadi teringat akan sabda nabi Saw ketika berkhutbah kepada para umat Islam di Arafah pada saat haji Wada’. Terdapat korelasi antara pesan khutbah yang disampaikan oleh baginda Rasul dengan peristiwa wukuf di Arafah dalam pelaksanaan ibadah haji Wada’. Baginda Nabi dalam pidatonya ketika itu mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu. Bapak kalian adalah satu. Kalian semua dari Adam, dan Adam [diciptakan] dari tanah. Semulia-mulia kalian di sisi Allah adalah orang yang baik taqwanya. Tidak kelebihan bagi orang Arab atas orang non-Arab kecuali taqwanya ...” Cuplikan khutbah ini mengisyaratkan perhatian Rasulullah terhadap pentingnya persoalan kemanusiaan. Sebuah pesan kemanusiaan yang luhur, yang di dalamnya seseorang menemukan jati dirinya sebagai makhluk yang sama, yaitu sama dalam sifat kemanusiaan dan haknya sebagai ciptaan Tuhan.
Oleh karena manusia pada hakekatnya adalah sama di hadapan Tuhan, maka tidak sepatutnya antar sesama melakukan perilaku yang dapat saling merugikan. Berbuat zalim dan menyakiti orang lain pun tidak diperbolehkan. “Sungguh harta dan darah kalian adalah haram bagi kalian semua,” demikian dalam bagian lain dari khutbah Nabi di Arafah saat haji Wada’.
Sampai sini, saya semakin yakin bahwa peristiwa wukuf—yang harus dilakukan oleh para jamaah haji itu—tidak saja menjadi ajang sesaat untuk menikmati panorama alam bumi Arafah (yang gersang sebagaimana kebanyakan pemandangan daerah gurun pasir lainnya). Tetapi, wukuf harus dijadikan sebagai momen dan tempat untuk mengajari diri sendiri akan pentingnya nilai-nilai tentang semesta kemanusiaan; nilai persamaan antar sesama dan solidaritas kemanusiaan, sehingga tidak mudah tersulut emosi untuk menyakiti orang lain.
Baginda Rasul pernah menyatakan: “Haji adalah Arafah.” Barangkali, ini menjadi isyarat bagi kita akan pentingnya wukuf di Arafah, tidak saja dalam konteks haji tetapi juga dalam konteks historisnya. Maka, sangatlah rugi bagi mereka yang berhaji khususnya, dan umat Islam pada umumnya, yang melupakan makna (hikmah) esensial dari peristiwa besar wukuf di Arafah itu.[mff]

Monday, November 23, 2009

Peta Gerakan Sosial Baru

Oleh: M. Faisol Fatawi

STUDI dan teori mengenai gerakan sosial banyak dituliskan dalam
beberapa tahun terakhir. Studi itu sangat menarik karena banyaknya
fenomena yang berkembang sejak awal abad ke-20, terutama lahirnya
sejumlah gerakan perlawanan, khususnya gerakan prodemokrasi (prodem)
pada 60-an di banyak negara di semua belahan dunia.

Sekalipun demikian, gerakan sosial sering kali secara implisit
didefinisikan secara heterogen terhadap sejumlah fenomena sosial dan
politik seperti revolusi, sekte-sekte keagamaan, organisasi-
organisasi politik, atau satu isu yang mengampanyekan banyak hal pada
sebuah kesempatan didefinisikan sebagai gerakan sosial.

Selengkapnya baca:

Membongkar Sejarah Penciptaan Manusia dalam al-Qur'an

Oleh: M. Faisol Fatawi

Sampai sekarang sejarah asal-usul manusia di muka bumi masih menjadi objek kajian yang hangat. Berbagai usaha dan teoritisasi dilakukan. Salah satu teori yang paling terkenal, yang dikemukakan oleh Darwin menyatakan, bahwa manusia berasal dari Kera. Tak pelak, kebenaran teori itu pun dipertanyakan oleh banyak pihak, bahkan mendapat tanggapan keras dari para ilmuwan umumnya dan para agamawan khususnya. Seiring dengan itu, para antropolog sibuk menemukan fosil yang diduga fosil manusia tertua. Ada Pithecantrophus Erectus, Meganthropus Erectus, Wajakensis Soloensis, Homo Sapien, dan lain sebagainya. Namun semuanya masih belum dapat menjawab secara pasti misteri dibalik asal-usul (penciptaan) manusia di muka bumi.
Dalam tradisi pemikiran Islam, misteri asal-usul manusia di muka bumi dihubungkan dengan kisah penciptaan nabi Adam. Bahwa nabi Adam-lah manusia pertama di muka bumi. Darinya Hawa’ diciptakan, dan dari keduanya itulah --setelah memakan buah khuldi dan diusir dari Sorga diturunkan ke muka bumi-- lahir anak keturunannya, termasuk kita semua ini yang menjadi anak turun Adam. Pemahaman seperti ini terus diproduksi dan direproduksi oleh kalangan mayoritas muslim. Bahkan kalau kita menyangkalnya berarti dianggap telah mengingkari al-Qur’an. Alasannya mudah, yaitu karena memang demikianlah al-Qur’an mengisahkan.

Selengkapnya baca:

Catatan dari Balik Penjara

Oleh: M. Faisol Fatawi

Bagi sebagian orang, penjara mungkin tempat yang sangat menakutkan karena itu sebisa mungkin dihindari. Namun bagi sebagian yang lain, penjara merupakan kawah candradimuka, tempat untuk menempa diri, bahkan sekolah gratis untuk mematangkan konsep, keahlian, dan keterampilan. Penjara menjadi surga bagi mereka yang ingin menggembleng kepribadian.

Pengalaman di penjara juga dirasakan Wilson bersama para aktivis Pro Demokrasi (Prodem) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai ganjaran atas usahanya merobohkan kekuasaan Orde Baru.

Keterlibatan para aktivis Prodem dalam menumbangkan kekuasaan Orde Baru, telah menyeret Wilson dan sejumlah aktivis Prodem dan PRD ke balik jeruji sel di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, LP Kali Sosok, dan LP Tangerang. Wilson ditangkap karena dianggap melawan negara dengan tuduhan merongrong kestabilan, maka mereka menerima tuduhan subversi.

selengkapnya baca:

Belajar Membangun Negara dari Plato

Oleh: M.Faisol Fatawi

Saat ini, bangsa Indonesia diterpa ‘penyakit’ serba ketidakjelasan, baik di bidang politik, ekonomi, moral, dan sosial. Krisis ekonomi berkepanjangan, rasa tidak percaya terhadap pemegang kekuasaan dan pelaksana pemerintahan, perseteruhan antar politisi, pejabat negara yang korup, dan yang paling mutakhir geger antara ‘cicak dan buaya’ atau entah apa lagi. Seolah-olah, kita hidup di sebuah negeri yang serba banyak masalah, tak beres. Negeri yang tak layak dijadikan tempat kelahiran dan perkembangan suatu harapan masa depan. Kita butuh pada negara ideal (utama) yang didalamnya tatanan masyarakat dan sendi-sendi kehidupannya berjalan normal: berkeadilan dan beprikemanusiaan.
Di tengah kondisi seperti itu, ada baiknya kalau kita mengambil pelajaran dari pesan-pesan yang disampaikan Plato dalam dialog antara dirinya dengan kawan-kawannya dalam bukunya The Republic (Republik). Menurut Plato, satu hal yang harus dipahami sebelum kita menciptakan negara utama adalah ide tentang (tujuan) penciptaan negara. Negara lahir karena berbagai kebutuhan umat manusia. Masing-masing Individu tidak ada yang sanggup mencukupi kebutuhannya sendiri. Agar kebutuhan tersebut terpenuhi, maka antara satu sama lain harus saling take and give. Yang satu memenuhi kebutuhan yang lain. Semakin banyak kebutuhan yang diperlukan, semakin banyak pemenuhan kebutuhan tersebut. Ketika semuanya kumpul dalam suatu habitat, maka disebut negara.
Menciptakan negara utama tidak mudah, butuh kecakapan keutamaan tertentu. Pertama, bahwa sebuah negara bisa menjadi negara utama manakala dikendalikan oleh keutamaan bijaksana. Kepandaian mengatur negara merupakan jenis pengetahuan. Pengetahuan yang bijaksana dapat diperoleh dari pengetahuan akan tujuan kemanusiaan yang menjadi objek politik, dan tujuan kemanusiaan hanya berpijak pada pengetahuan teoritis. Di sini, bijaksana dalam pengetahuan praktis dan pengetahuan teoritis menjadi suatu keniscayaan dalam menciptakan negara utama. Tak heran, jika Plato mengakui bahwa hanyalah para filsof (orang yang bijak) yang dapat mengarahkan negara menjadi negara utama, karena mereka adalah ahli kebijaksanaan.
Kedua, keutamaan keberanian. Apa yang dimaksud oleh Plato dengan keberanian adalah kemampuan mengetahui masalah, memelihara sesuatu, dan berkata dalam kondisi apapun. Yakni, seseorang harus tetap berusaha untuk bertahan, baik dalam kesenangan maupun penderitaan, di bawah nafsu atau ketakutan. Bukannya malah kehilangan pikiran. Keberanian diperoleh bukan semata-mata karena diharuskan hukum, tetapi harus ditanamkan dan dipersiapkan sebaik mungkin kepada semua individu sehingga tidak lapuk ditelan waktu dan kondisi. Oleh karena itu, penyelamatan ide dari yang benar yang sesuai dengan hukum tentang bahaya yang nyata dan yang salah tetap disebut dan dipertahankan sebagai keberanian.
Ketiga, negara utama dapat ditegakkan dengan sikap kesederhanaan. Negara tak mungkin dijalankan oleh individu-individu yang jiwanya dipenuhi nafsu keserakahan terhadap hal-hal duniawi. Berbagai kesenangan dan nafsu tertentu harus dikendalikan. Karena kesenangan dan nafsu tersebut, kita menemukan kelas-kelas dalam negara. Ada superior dan inferior. Kelas-kelas itu harus berjalan seirama dalam sebuah keseimbangan yang merupakan persetujuan yang secara mendasar dari yang superior dan inferior tentang hak untuk memimpin, baik negaranya atau setiap individu.
Akhirnya, kualitas negara menjadi baik apabila keadilan ditegakkan. Keadilan harus didasarkan pada prinsip bahwa seseorang harus mengerjakan satu hal saja. Karena satu orang mengerjakan satu saja, maka secara otomatis pekerjaan itu pun dikerjakan sendirian. Ini berarti, orang yang adil adalah bukan menjadi orang yang selalu ikut campur dengan urusan orang lain. Maka melakukan pekerjaan atau urusan diri sendiri dengan cara tertentu, dalam pandangan Plato, bisa dianggap sebagai keadilan.
Plato mengibaratkan keadaan negara dengan keadaan jiwa manusia. Keempat keutamaan tersebut yang terdapat dalam negara juga ada dalam jiwa setiap individu, dan dari setiap individu keutamaan itu berubah menjadi kebiasaan dan prinsip negara. Keempat keutamaan itu harus berjalan secara korelatif dan sederhana, meskipun mungkin timbul perbedaan. Keadilan bisa muncul dalam negara manakala kekuatan kebijaksanaan, keberanian, dan kesederhanaan berjalan sepatutnya, sesuai dengan kadar dan waktu yang semestinya. Kini, tercipta sudah negara utama itu.
Demikianlah Plato menguraikan apa saja yang dapat mengantarkan sebuah negara menjadi negara utama. Semoga kita dapat mengambil pelajaran![mff]

Sunday, November 22, 2009

Filsafat Sejarah

Oleh: M. Faisol Fatawi


Fakta sejarah seringkali dipandang kebanyakan orang sebagai sebuah dokumen tentang serangkaian peristiwa pada masa lalu. Bahwa ia adalah kumpulan kejadian sebagai akibat dari aktifitas manusia dalam rangka berinteraksi dengan dunia di luar dirinya dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Ini berarti, sejarah itu adalah catatan tentang sesuatu yang statis (baca: mati).
Adalah G.W.F. Hegel, bapak filsafat kritis, yang melihat fakta sejarah dengan sudut pandang lain. Menurut Hegel, semua organisasi manusia yang stabil, semua masyarakat agama dan politik, didasarkan pada prinsip yang jauh berada di luar kendali satu atau banyak orang. Setiap orang, dalam setiap iklim dan jaman, dilahirkan, hidup dan bergerak. Semua itu bukan merupakan hasil dari kontrak sosial, dan bukan pula hasil dari penemuan seseorang.
Namun fakta itu merupakan perwujudan objektif dari rasio yang tidak terbatas, sebuah dorongan pertama dari Dia yang membuat darah semua manusia untuk tinggal di muka bumi, yang telah menentukan jaman sebelum ditetapkan, dan ikatan tempat tinggal mereka saat merasakan ketidakmujuran dan menemukan dirinya. Rasio memiliki esensialnya sendiri. Bahwa manusia yang tidak sempurna ada di dalam penghambaan, sementara itu kesempurnaan eksistensi sosial pada umumnya dipandang sebagai satu pembebasan dari penghambaan tersebut.
Menurut Hegel, ada dua pertimbangan dasar. Pertama, ide tentang kebebasan sebagai tujuan akhir dan mutlak. Kedua, sarana untuk merealisasikannya, yaitu sisi subjektif pengetahuan dan kehendak, dengan hidup, gerak, dan aktifitasnya. Keduanya memiliki saling keterkaitan yang erat.
Kita mengenali ide dalam bentuk tertentu kesadaran akan kebebasan dan kehendak itu sendiri yang meliputi ide rasio yang murni dan sederhana, atau yang juga kita sebut dengan subjek: ruh secara aktual ada di dalam dunia. Sementara pada saat yang sama kita mempertimbangkan subjetivitas, bahwa pengetahuan dan kehendak subjektif adalah pemikiran. Antara ide rasio yang mempunyai sisi objektif dan personalitas yang berpikir dan menghendakinya, yang memiliki sisi subjektif membentuk kesatuan hakiki.
Ide atau rasio adalah kompleks yang tidak terbatas dari segala sesuatu, hakekat dan kebenarannya utuh. Ia meruapakan kebenaran, keabadian, dan esensi yang berkuasa secara mutlak; ia mewujudkan dirinya dalam dunia, dan di dunia tidak ada perwujudan yang lain kecuali ide dan kemurnian serta keagungannya. Namun pada saat yang sama, rasio menimbulkan akibat akibat dalam sejarah dunia karena ia memberikan kesempatan kepada kita kesempatan untuk mengkaji secara mendalam berbagai persoalan yang menimbulkan kesulitan yang terbesar
Oleh karena itu, bagi Hegel sejarah adalah ide tentang ruh di dalam perwujudan lahir kehendak manusia dan kebebasannya. Ia lahir sebagai keseluruhan moralitas dan realitas kebebasan, dan akibatnya sebagai kesatuan objektif dari unsur ide dan sarana untuk merealisasikannya.
Ketika ruh mencapai kebebasannya, maka ia akan membutuhkan sebuah kode tentang undang-undang dan konstitusi. Di situlah subordinasi rasional alam atas rasio yang berlaku dalam adanya sendiri, dan kekuatan yang ia rasakan untuk mewujudkan bujukan lahiriah akan terlihat dengan jelas. Bahwa rasio menguasai dunia, dan akibatnya menguasai sejarah.
Dalam hal ini, nampak seolah-olah pemikiran harus merendahkan apa yang sudah pasti, pada realitas fakta. Filsafat bermukim di dalam ide yang dihasilkan jiwa, tanpa mengacu pada aktualitas. Mendekati sejarah dengan demikian –menurut Hegel-- menawan hati, spekulasi dapat diharapkan untuk menyatakan sebagai materi yang pasif. Ia membiarkannya dalam kebenaran aslinya, dengan memaksanya sesuai ide tirani, dan dengan menguraikannya, sehingga ungkapannya adalah a priori.
Jika sejarah membicarakan apa yang terjadi di masa lampu atau memprediksikan apa yang bakal terjadi, maka sejarah dalam kerangka filsafat sebagaimana yang dikatakan oleh Hegel membicarakan tentang apa yang ada, yang mempunyai eksistensi abadi, yakni rasio.[mff]

Film 2012 dan Hantu Modernitas

Oleh: M. Faisol Fatawi

Kehadiran film 2012 begitu menghebohkan. Hampir semua pihak dibikin terperangah terhadapnya. Sebagian kita mungkin sedikit percaya bercampur was-was akan kiamat yang bakal terjadi tahun 2012 mendatang sebagaimana yang diilustrasikan dalam film tersebut. Namun, tidak sedikit pula kalangan yang mempertanyakan film itu. Dan tak tanggung-tanggung ada juga yang mengharamkan untuk menontonnya dengan alasan bertentangan dengan ajaran agama karena terjadinya kiamat tidak dapat diprediksi dan diketahui oleh siapapun; kiamat hanya urusan Tuhan.
Film 2012 dibuat dengan mengacu pada kalender suku Maya di Guatemala. Dalam kalender suku itu diprediksi akan terjadi kiamat, dimana diperkirakan akan ada sejumlah planet atau benda angkasa yang keluar dari orbitnya, dan ini yang nantinya akan menabrak bumi. Atau matahari akan melepaskan beberapa energinya sehinga akan berpenharuh terhadap suhu di planet yang kita tempati (bumi). Khusus yang terakhir ini dapat berpengaruh terhadap mencairnya es di dua kutub (Urata dan Selatan), atau bahkan dapat mengubah kutub magnet bumi.
Dalam dunia sastra, terdapat istilah science fiction (fiksi saintis). Yakni, karya-karya fiksi yang bernuansa atau mengandung muatan pengetahuan saintis. Meskipun isinya sangat saintis, namun jenis sicience fiction, sebagai karya cipta-rekaan, tetap saja bukan merupakan dunia nyata yang sesungguhnya. Strukturnya tetap bersifat imajiner, meskipun bervisi pengetahuan (sains).
Film 2012 dapat dimasukkan dalam kategori science fiction itu. Karya fiksi seperti itu bukanlah satu-satunya dan lahir baru kali ini saja. Beberapa film seperti Independent Day, Star Track, Star War dan lain-lain sebagaimana yang sudah tidak asing lagi bagi kita, semuanya bervisi saintis. Di dunia Timur juga dapat ditemukan karya-karya fiksi yang hampir sama, seperti Hay bin Yaqdzan karya Ibn Thufail, Thouq Hamamah yang ditulis oleh Ibn Hazm, Ebsal wa Salomon sebagaimana yang ditulis oleh Ibn Sina, Manthiq al-Thair-nya Fariduddin Aththar dan seterusnya. Karya-karya fiksi seperti itu selalu mengiringi dunia kita dari waktu ke waktu.
Seorang ahli antropologi kebudayaan, Van Peursen, telah mengklasifikasikan strategi proses terbentuknya kebudayaan umat kedalam tiga tahap. Pertama, tahap mitis. Yakni, sikap manusia yang merasakan dirinya berada dalam kepungan kekuatan-kekuatan gaib yang berada di sekitarnya. Kedua, tahap ontologis yang berarti dalam tahap ini manusia secara bebas ingin meneliti segala hal. Manusia mengambil jarak dari adanya kepungan-kepungan dari kekuatan yang gaib. Mereka mulai menyusun pengetahuan atau teori-teori mengenai hakekat segala yang maujud. Sementara itu ketiga adalah tahap fungsional yang berarti dalam tahap ini manusia memasuki apa yang disebut dengan dunia modern. Manusia tidak lagi terpesona oleh sika-sikap mitis, dan tidak pula mengambil jarak dengan objek penyeledikikan yang dilakukan. Mereka mencari jalan terobosan baru mengenai masalah-masalah lama.
Dunia modern yang ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi dan informasi seperti sekarang ini, tentunya merupakan proses berkelanjutan dari tiga tahapan dalam strategi kebudayaan sebagaimana yang dimaksudkan oleh Van Peursen tersebut di atas. Sebagai bentuk dari usaha untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang ditemukan di tengah kehidupan, kemajuan yang telah dicapai manusia era modern seperti saat ini dapat dikategorian kedalam tahap fungsional. Tetapi pada saat yang sama, tahap fungsional tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tahap kebudayaan yang bersifat final. Ketika tahap kebudayaan manusia sudah melewati tahap mitis dan ontologis, maka bukan berarti kedua tahap itu tidak pernah dilalui lagi oleh mereka.
Ketiga tahapan tersebut di atas, yang dilalui oleh manusia dalam membangun kebudayaannya, bukan merupakan tahapan hirarkis yang jika satu tahapan dilalui maka tidak akan dilalui selamanya. Hubungan ketiga tahapan itu bersifat menyatu di dalam kehidupan kebudayaan umat manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa di saat manusia mencapai tahap fungsional, maka di sana akan muncul kontradiksi-kontradiksi (yang berbentuk kepungan persoalan-persoalan atau kekuatan-kekuatan baru yang tak kasat mata) yang ditimbulkan dari kemajuan yang mereka capai. Maka, setiap tahap fungsional dicapai, maka tahap mitis dan ontologis muncul dalam bentuknya yang lain. Begitu seterusnya, sebuah proses kebudayaan hadir ke tengah dunia di tangan umat manusia.
Sebenarnya, film 2012 dapat kita pandang sebagai hasil dari kemajuan kebudayaan umat manusia. Ia menjadi hasil kreasi pikiran manusia yang luar biasa di satu sisi, dan merupakan wujud kecanggihan teknologi untuk melakukan rekayasa peristiwa ‘kiamat’. Singkatnya, film 2012 tidak lain merupakan wujud dari modernisasi kalender suku Maya yang bertumpu pada pikiran primitif. Dengan sentuhan tangan manusia modern dan kemajuan teknologi, prediksi pikiran suku Maya itu diubah menjadi dunia yang ‘nyata-nyata’ dapat dinikmati oleh panca indera semua orang.
Saya melihat, bahwa lahirnya film 2012 merupakan bentuk lain dari masuknya alam pikiran manusia modern ke dalam tahapan mitis seperti yang dinyatakan oleh Van Peursen. Film 2012 mencerminkan bentuk ketidak-berdayaan manusia di tengah kepungan kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi mengakibatkan ketidak-berdayaan manusia itu sendiri. Atau dengan kata lain, kemajuan modernitas melahirkan kekuatan-kekuatan ‘gaib’ yang baru, yang--secara sadar atau tidak sadar—menuntut manusia untuk bergelut memecahkannya, sehingga mereka harus mendefinisikan ulang tentang diri dan segala yang mengitarinya; menyusun kembali pengetahuan atau teori-teori mengenai hakekat tentang segala sesuatu.
Sayangnya, tidak semua orang menyadari kembalinya tahapan alam pikiran mitis tersebut. Kita yang hidup di tengah kemajuan modernitas cenderung menolak jika alam pikiran dianggap mitis. Yang selalu muncul adalah anggapan bahwa modernitas identik dengan alam pikiran rasional. Rasionalitas menjadi tolak ukur dalam menilai segalanya, sampai-sampai alam modernitas dianggap lawan dari kemunduran (baca: alam mitis).
Hilangnya kesadaran akan munculnya tahapan alam pikiran mitis di tengah kehidupan modern menyisakan problem yang cukup serius. Manusia menjadi angkuh dengan kerasionalitasan yang dimilikinya. Jika ini yang terjadi, maka manusia akan kehilangan kesadaran kritisnya yang paling otentik yang selalu ada di dalam bawah sadarnya. Manusiapun menjadi teralienasi dengan tantangan dan kekuatan-kekuatan yang muncul di sekitarnya. Alam pikirannya menjadi kosong meskipun nalar rasionalitas menjadi pijakan pirinsipnya.
Film 2012 melahirkan apa yang saya sebut dengan hantu-hantu modernitas. Melalui permainan media, wacana tentang kiamat seperti yang divisualisasikan lewat film 2012 secara terus-menerus diproduksi—terlepas dari strategi pemasaran untuk mendongkrak laris-manisnya film itu ke hadapan publik pemirsa. Efeknya, lahir wacana tentang kengerian dan kekhawatiran akan terbuktinya film tersebut di sana-sini pada tahun 2012 mendatang; memunculkan ruang pikiran publik yang serba was-was dan berada dalam ketidak-pastian—dalam pengertiannya yang negatif.
Sebagai pengetahuan, alam pikiran mitis dapat memberikan arah kepada perilaku manusia, dan menjadi semacam pedoman kebijaksanaan, sehingga dapat menggapai kejadian-kejadian dan daya-daya keuatan alam di sekitarnya. Maka, kita harus sadar bahwa jangan sampai hantu-hantu modernitas (film 2012) yang lahir dari kreasi tangan-tangan modernitas mencerabut alam pikiran mitis kita. Karena, pikiran mitis itu menjadi bakat alami manusia. Suatu saat kiamat pasti terjadi, tetapi entah kapan?[mf]

Friday, November 20, 2009

Memaknai Ulang Jihad

Oleh: M. Faisol Fatawi

Sejak semula, Islam diturunkan ke muka bumi dengan membawa nilai kemanusiaan; keadilan (al-adalah), persaudaraan (al-ukhuwah), solidaritas sosial (al-tadlamun al-ijtima'i), dan persamaan (al-musawah). Nilai-nilai ini merupakan cahaya yang dapat menerangi dan membimbing umat manusia (baca: masyarakat Arab-Jahiliah) pada saat itu menuju jalan kehidupan yang humanis-berperadaban.
Dalam konteks dakwah Islam, jihad fi sabilillah mempunyai signifikansi makna demi idealisme tertinggi, yang termanifestasi dalam dua tujuan. Pertama, mengganti sistem tatanan masyarakat--baik ekonomi, sosial, budaya dan politik--yang bobrok, penuh permusuhan, perselisihan, kecurangan …dst; mendekonstruksi dasar-dasar dan kerangka tatanan sosial yang sarat dengan kelaliman dan keburukan, dengan sistem yang "soleh".
Tujuan pertama itu dapat dilakukan secara sempurna dengan menjatuhkan rezim yang bobrok dan menggantinya dengan rezim baru yang berlandaskan keadilan, kepatuhan pada sistem dan hukum perundang-undangan yang dalam Islam dikenal dengan syara'. Dalam rezim ini, rakyat memiliki kesamaan hak dan perlakuan. Tidak ada diskriminasi antara yang kaya dan miskin, elit dan jelata, Arab dan non-Arab, berkulit hitam dan putih. Tentara Islam juga dibentuk bukan untuk memerangi pasukan musuh yang notabene kafir, tetapi mereka yang tetap setia pada rezim lama dan melindungi sisa-sisa kekuatan yang mencoba menghalang-halangi pelaksanaan sistem keadilan yang dibawa oleh Islam.
Kedua, penyebaran dakwah dan akidah Islam. Islam tidak bisa dipaksakan pada individu-individu, tetapi setiap individu memiliki hak penuh untuk menolaknya dan menikmati segala bentuk kebebasan beragama mereka dengan kompensasi pembayaran pajak (jizyah). Penyebaran dilakukan bukan untuk menggiring manusia secara paksa mengimani Islam. Tetapi, dalam dimensi ini jihap bertujuan untuk mengenalkan Islam dan memberitahu umat manusia bahwa di sana ada agama dan sistem yang disebut dengan Islam, yang memiliki kaidah-kaidah khusus.
Jizyah harus dibayar sebagai satu-satunya alternatif untuk menghindari rekayasa birokratik yang mengharuskan orang-orang (non-muslim) untuk ikut terlibat dalam aktifitas birokrasi pemerintahan Islam yang tidak mereka imani. Lebih dari itu, ia merupakan jalan (cara) untuk tetap mempertahankan akidah, dan alternatif untuk menghindari pemaksaan sistemik yang tidak bisa dihindari lagi sebagai konsekwensi logis atas kompleksitas sosial. Jizyah juga bukanlah harga yang harus dibayar demi sebuah kebebasan, tetapi lebih merupakan harga yang harus dibayar demi rasa keadilan dan perlindungan.
Dalam kerangka dua tujuan itu, maka ekspansi yang pernah dilakukan Islam dapat dipandang sebagai kehidupan keadilan dan era baru bagi bangsa-bangsa dan rakyat yang tertindas. Ia seperti suntikan yang kuat berisi nilai-nilai, moralitas, dan hormon-hormon yang mengalir ke dalam darah rakyat, sehingga mereka bisa hidup kembali setelah sekian lama berada dalam cengkraman sebuah kekuasaan yang despotik. Ekspansi seperti ini tidak lain merupakan ekspansi yang humanis dan populis (al-fath al-insani al-sya'bi).
Jihad pun (dalam pengertian qital) dalam Islam hanya boleh dilakukan sebagai jalan terakhir manakala pihak kaum muslimin terpaksa. Artinya, ketika kaum muslimin lebih dulu diserang dan tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh, misalnya negosiasi dengan pihak lawan. Dengan kata lain, bahwa jihad (dalam pengertian qital) merupakan peperangan defensif: menyerang apabila diserang.
Khusus mengenai jihad dalam pengertian qital, al-Qur'an secara tegas memberikan arahan. Yaitu, pertama perang merupakan keseriusan murni yang tidak boleh diselingi kesantian, peremehan, penyepelehan dan atau guyonan. Sikap teledor dalam peperangan tidak saja berbuntut pada kekalahan, tetapi juga akan berdampak pada tindakan sembrono yang dapat mengakibatkan banyaknya nyawa melayang, baik di pihak lawan maupun kawan. Ini artinya, bahwa kapanpun dan bagaimanapun jihad (qital) diperbolehkan, namun Islam tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Kedua, al-Qur'an memberikan batasan minimum dalam perang. Artinya, bahwa tidak diperbolehkan menggunakan peralatan senjata, apapun jenisnya, yang melebihi kekuatan senjata musuh, termasuk di dalamnya menggunakan sarana-sarana yang lebih buruk. Batasan minimal ini diakseleratifkan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, dalam perang tidak dibenarkan jika ada yang sampai membabat habis pepohonan, membakar harta benda dan rumah-rumah, dan atau melakukan tindakan anarkis lainnya, setelah musuh benar-benar dalam keadaan kalah atau terdesak. Sampai-sampai para keluarga yang ditinggalkan (gugur di medan perang) harus tetap dihormati dan diperlakukan secara manusiawi.
Oleh karena itu, Jamal Albana--dengan mencermati konteks sekarang--memandang bahwa tidak tepat jika jihad dipahami sebagai qital (perang secara fisik). Alasannya, karena jihad yang pernah dilakukan di masa-masa awal Islam telah kehilangan semangat keislaman yang sesungguhnya: humanis dan populis. Semangat anti kekerasan yang didasarkan pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, telah digantikan oleh kepentingan etnis, fanatisme kelompok. Semangat inilah--menurut jamal Albana-- dalam sejarah Islam mengakibatkan bencana bagi umat Islam di belahan Eropa. Maka, saatnya jihad dikembalikan kepada makna yang sesungguhnya.
Kehidupan merupakan pilihan fundamental antara kebaikan dan keburukan. Islam melalui kitab sucinya menjadikan setan sebagai sumber kekuatan jahat. Setan selalu berperan untuk menyeret manusia ke jalan kemaksiatan dan keburukan. Ia selalu menjadi musuh abadi manusia dalam kehidupan ini.
Sementara itu, kebaikan bersumber dari Allah melalui wahyu yang telah diturunkan kepada nabi-Nya. Dialah sumber hidayah dan cahaya yang menerangi kehidupan. Hidayah itu adalah ilmu, hati nurani, kebajikan, kebaikan, petunjuk para nabi dan ajaran-ajaran kitab suci (al-Qur'an).
Di tengah pilihan-pilihan itu, antara kebaikan dan keburukan, setiap insan muslim dituntut untuk senantiasa bersikap siaga. Siaga untuk selalu berusaha menghindari keburukan. Demikian pula, siaga untuk selalu menyongsong kebaikan. Sikap siaga menuntut adanya upaya perjuangan keras secara terus-menerus. Perjuangan melawan keburukan dan perjuangan untuk selalu berada di jalan kebaikan.
Menurut Jamal Albana, jihad adalah sebuah weltanchaung dalam memandang dan menjalani kehidupan. Ia merupakan tuntunan abadi dalam Islam. Jihad tidak berarti perang (qital) atau mati syahid di jalan Allah, tetapi bagaimana menjalani hidup ini agar tetap eksis di jalan-Nya: jihad untuk tetap memenuhi panggilan kebaikan yang datang dari Allah, dan meninggalkan segala bentuk keburukan. Inilah makna jihad yang sebenarnya (haqiqi) dan paling mendasar dalam Islam.
Sampai sekarang, memang masih ada sementara umat Islam yang memahami jihad dengan perang secara fisik atau pertumpahan darah. Namun pemahaman seperti ini dalam Islam keliru dan menyimpang. Kekeliruan mereka terletak bahwa mereka salah dalam memahami konteks ayat-ayat yang berisi seruan untuk berperang (qital). Lebih-lebih, ayat-ayat yang membicarakan tentang masalah perang (qital) dalam al-Qur'an tidak lebih dari 15 halaman. Namun anehnya, minimnya ayat-ayat qital ini justru menjadi masalah pembicaraan yang intens dan sangat luas dalam kajian di bidang fiqh dan lebih-lebih dalam sirah kenabian. Hal ini cukup memberikan pengaruh dalam pemahaman umat Islam akan legalitas berjihad dalam pengertian memerangi musuh Allah demi tujuan li i'lai kalimatillah. Pemahaman seperti ini--sekali lagi--harus dibongkar dan diluruskan.
Jihad yang haqiqi adalah terus-menerus berupaya berada dalam jalur kebaikan demi memperjuangkan kemaslahatan umat manusia (khususnya umat Islam) dan melawan dengan sekuat tenaga berbagai bentuk upaya yang dapat menghancurkan eksistensi manusia. Singkatnya, jihad dalam Islam merupakan suatu semangat dan sikap yang dapat mengangkat derajat kemanusiaan umat manusia demi terciptanya tatanan masyarakat yang penuh dengan keadilan, persaudaraan, solidaritas, perdamaian, kemajuan, dan egalitarinisme. [mf]

Thursday, November 19, 2009

Kenisbian Sebuah Penafsiran

Oleh: M. Faisol Fatawi


Dalam Islam, tidak ada teks atau kitab perundang-undangan yang diakui oleh kelompok keagamaan secara teologis kecuali al-Qur'an. Semua kelompok meyakini bahwa al-Qur'an adalah teks yang diwahyukan dan diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya melalui perantara malaikat. Al-Qur'an adalah satu-satunya teks yang selalu dipahami dan diinterpretasikan oleh umat Islam sebagai pegangan yang melandasi gerak dan langkah kehidupan mereka.
Sejak awal perjalanan sejarah yang ditempuh oleh Islam, kecenderungan untuk menyatukan (unifikasi) teks al-Qur'an dalam satu ikatan belum pernah muncul. Pada masa nabi saw masih hidup pun tidak pernah ditemukan teks al-Qur'an dalam bentuknya yang sudah tersusun rapi. Kalaupun toh ada, itu pun hanya letupan-letupan kecil, yakni tulisan dalam pelepah-pelepah, batu-batu, dan atau daun-daun korma secara sporadis. Kecenderungan untuk melakukan unifikasi teks al-Qur'an ini baru muncul ke permukaan pada masa-masa belakangan. Bahkan kecenderungan ini merupakan sesuatu yang asing dalam Islam masa awal atau paling tidak sesuatu yang tak terpikirkan.
Sejarah memang membuktikan, bahwa teks al-Qur'an baru dibukukan dan diunifikasi secara resmi pada masa khalifah Usman bin Affan dalam wujudnya yang seragam dan dapat kita saksikan seperti sekarang ini. Ini dapat dikatakan sebagai usaha yang sangat mulia. Meskipun khalifah Usman berhasil membukukan dan menyeragamkan teks al-Qur'an ke dalam satu bentuk mushaf yang kemudian dikenal dengan mushaf Usmani, tetapi usaha ini menuai protes dari banyak kalangan sahabat. Oleh karena usaha ini tidak mendapatkan dukungan yang bulat dari seluruh umat Islam pada saat itu, maka tak pelak di sana tetap saja terjadi perbedaan bacaan (qira'at).
Perbedaan bacaan (qira'at) tersebut minimal dipicu oleh karakteristik tulisan Arab itu sendiri. Kadang, sebuah perbedaan bacaan dipicu oleh tidak adanya titik pada huruf-huruf resmi, dan kadang disebabkan oleh perbedaan harakat dalam bagan huruf-huruf yang diam. Dua hal ini merupakan faktor utama lahirnya dinamika perbedaan bacaan dalam teks al-Qur'an. Munculnya perdebatan seputar bacaan Al-Qur'an dalam generasi awal tidak lain merupakan usaha untuk menjaga, melestarikan dan menegakkan kitab suci ini. Dan ragam bacaan itu mencerminkan usaha untuk menafsirkan firman Tuhan. Inilah karakteristik tafsir tahap paling awal dalam Islam.
Seiring dengan diterimanya suatu bacaan tertentu oleh berbagai kalangan masyarakat yang kemudian dikenal dengan bacaan masyhurah, karakteristik penafsiran yang lebih cenderung memperhatikan perbedaan bacaan itu mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Generasi umat Islam berikutnya senantiasa cenderung menjadikan al-Qur'an sumber untuk mencari justifikasi kebenaran atas pemikiran yang dipeganginya. Mereka menjadikan kitab ini sebagai sandaran untuk menunjukkan kesesuaian pikirannya dengan Islam dan apa yang dibawa oleh nabi.
Secara alami, kecenderungan seperti ini dan cara interaksinya dengan al-Qur'an menjadi lahan subur bagi lahirnya penulisan tafsir aliran yang dengan cepat terlibat dalam kancah persaingan dengan penafsiran yang simplistis. Al-Qur'an pun dipahami sesuai dengan perspektif atau cara pandang aliran masing-masing: tafsir dalam perspektif teologi (kaum rasionalis), tafsir dalam perspektif tasawuf Islam, tafsir dalam pandangan sekte-sekte keagamaan, dan di tengah dunia modern al-Qur'an juga ditafsirkan sedemikian rupa sebagai respon atas perkembangan peradaban terkini.
Di tengah munculnya berbagai aliran keagamaan Islam, al-Qur'an sebagai core text menjadi taruhan tertinggi: sebuah kewenangan mutlak, senjata perang, sumber harapan dan tempat suaka yang tak dapat digantikan dalam waktu-waktu permusuhan. Upaya menafsirkan al-Qur'an tidak lagi dapat bebas dari tujuan dan orientasi tertentu, baik yang bersifat individu maupun kelompok. Oleh karena itu, tafsir memiliki bias kepentingan. Masing-masing mengaku menjadi pemegang "wewenang Tuhan". Di sini, saya jadi teringat dengan pernyataan sayyidina Ali karromallohu wajhah bahwa “al-Qur’an tidak bisa berbicara, tetapi yang berbicara adalah pembacanya.” Maka, dengan keterbatasan dan kelebihannya, setiap penafsiran menyimpan kepentingan (baca: ideologi penafsir)-nya. Dan ini harus diwaspadai agar—ketika membaca tafsir—kita tidak terjebak pada klaim kebenaran (truth claim) yang sebenarnya bersifat nisbi. [mf]

Mengurai Makna Islam

Oleh: M. Faisol Fatawi

“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam” (QS Ali Imran: 19)

Mengapa nama agama kita itu Islam? Pertanyaan ini mungkin sedikit mengganggu pikiran kita, karena selama ini kita menerima begitu saja kalau agama yang kita peluk adalah Islam. Atau mungkin kita akan menjawabnya, bahwa memang seperti itulah yang termaktub dalam Al-Qur’an sebagaimana tersebut di atas (Surat Ali imran: 19) –malah ayat lain meneguhkan “siapa yang tidak menjadikan Islam sebagai agama, maka ia tidak akan diterima” (Ali Imran: 85). Tetapi kita juga akan terkejut dan bahkan sedikit tidak akan percaya jika kita membaca Al-Qur’an yang diriwayatkan oleh Ibnu Masud, salah seorang sahabat yang keilmuannya diakui oleh Nabi Saw, yang menyatakan, bahwa Inna al-Dina Inda Allahi al-Hanifiyah (Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Hanif). Lalu mengapa agama kita tidak diberi nama agama Hanif saja?
Meskipun dalam riwayat bacaan yang dianggap sah oleh mayoritas ulama, “Islam” lebih populer untuk dijadikan nama agama bahkan mungkin tidak boleh ditawar dan dipertanyatakan lagi, namun yang jelas Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa “Islam” adalah agama yang masih segaris dengan agama yang dibawa oleh nabi Ibrahim As. Dengan kata lain, bahwa “Islam” adalah penerus agama nabi Ibrahim As. yang dalam beberapa ayat disebut dengan “agama nabi Ibrahim As. yang lurus (hanif)” (Al-Baqarah: 135), “ikutilah agama nabi Ibrahim As. yang lurus (hanif)” (Ali Imran: 95), “…dan ia mengikuti agama nabi Ibrahim As. yang lurus (hanif)” (An-Nisa’: 125), dan “katakanlah aku telah ditunjukkan oleh Tuhanku pada jalan yang lurus, agama yang benar; agama nabi Ibrahim As. yang lurus (hanif)” (Al-An’am: 161).
Mencermati beberapa ayat tersebut, dapat ditarik benang simpul bahwa agama yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw. –yang sekarang namanya kita sebut dengan Islam—adalah sama dengan agama yang dibawa oleh nabi Ibrahim As. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa agama islam adalah agama hanif, dan sebaliknya agama hanif adalah agama islam. Setidaknya persamaan ini dapat kita telusuri melalui pemahaman mendalam tentang kedua makna kata itu sendiri: islam dan hanif.
Kata islam dan hanif serta berbagai kata turunannya dapat ditemukan dalam Al-Qur’an berkali-kali. Dalam beberapa kamus dinyatakan, bahwa kata islam dari kata salima yang berarti selamat, ketundukan, perdamaian, dan ketentraman. Sedangkan kata hanif berasal dari hanafa yang berarti lurus dan mengikuti aturan. Pada suatu tempat, kedua kata tersebut digunakan secara berpisah, sementara pada tempat yang lain keduanya digunakan secara bersamaan: lihat misalnya surat Ali Imran: 67, bahkan setiap orang yang sholat, setelah takbir pertama, senantiasa membaca “inni wajjahtu wajhiya li al-ladzi fathara al-samawati wa al-ardli hanifan musliman wama ana min al-Musyrikin” (sungguh saya menghadapkan wajahku pada Dzat (Tuhan) yang telah menciptakan langit dan bumi dengan penuh ketundukan dan kelurusan, dan saya bukan termasuk orang musyrik).
Dalam sebuah hadis Nabi saw dinyatakan, bahwa “seorang muslim adalah orang yang dapat menyelamatkan orang lain dari mulut dan perbuatannya”. Apa yang dapat ditangkap dari pernyataan hadis itu, bahwa tindakan pro aktif dalam upaya selalu menjaga perdamian, menciptakan keselamatan dan ketentraman merupakan tanggungjawab bagi yang muslim. Menciptakan ketentraman dan keselamatan butuh pada sikap diri yang senantiasa saling menjunjung tinggi kesepakatan atau aturan main bersama yang didasarkan atas kepentingan dan demi eksistensi bersama (baca: kemanusiaan). Ketentraman dan keselamatan tidak berarti apa-apa manakala diri tidak mengikuti aturan bersama. Di sinilah kita dapat menemukan medan makna kata islam dan hanif, sebuah makna universal, progresif dan visioner. Keduanya bergerak secara simultan dan dialogis. Barangkali makna visioner dan progresif inilah yang menjadi landasan dan pijakan agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. dan nabi Ibrahim As, sehingga –tak heran—antara kedua agama tersebut dinyatakan sebagai satu keturunan: sama-sama agama yang menegakkan eksistensi dan martabat kemanusiaan menuju keselamatan dan perdamaian bersama.
Struktur makna terdalam dari kedua kata tersebut di masa Nabi Saw. kemudian dijadikan pijakan untuk menegakkan dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan: ukhuwah (persaudaraan), musawah (persamaan), dan adalah (keadilan). Nilai dasar perjuangan ini menjadi daya tarik suku-suku di semenanjung jazirah Arab untuk bergabung dengan beliau. Sejarah mencatat, bahwa suku Aus dan Khazraj adalah suku pertama yang menyatakan diri bergabung dengan Muhammad, karena kedua suku tersebut –pada saat itu—masuk dalam daftar suku yang paling tertindas: mencari dukungan nabi agar terbebas dari cengkraman kelas aristokrat Makkah. Kita juga dapat menengok kembali “Piagam Madinah” yang pernah ditulis oleh Nabi Saw. Piagam ini memuat kesepakatan bersama untuk selalu menjunjung tinggi persaudaraan, persamaan, dan keadilan di antara sesama: lintas individu, agama, kelompok, etnik, dan budaya.
Sampai di sini, kita dapat menangkap, bahwa sebenarnya islam dan hanif itu merupakan sistem makna yang luas, universal-progresif-visioner, lintas individu, agama, etnik, dan budaya. Makna itu melampaui kata itu sendiri, lebih-lebih jika Islam dan Hanif itu dijadikan sebagai sistem nama belaka. Lalu bagaimana dengan penamaan agama Islam kita sekarang ini? Ada apa dengannya sehingga pertanyaan sebagaimana tersebut di awal tulisan ini dikemukakan?
Biarkan nama Islam itu seperti apa adanya. Kita tidak usah menggantinya dengan nama Hanif atau nama-nama yang lain. Dua nama agama tersebut di atas sebagaimana yang terdapat dalam riwayat bacaan yang berbeda, dihadirkan dalam tulisan ini untuk melihat kemungkinan makna yang selama ini tidak (ter)dipikirkan, untuk menata dan membangun kembali kesadaran beragama dan praktiknya, serta syarat-syarat apa yang harus dipenuhi agar dapat mendekati makna agama dan beragama yang sesungguhnya.
Menjadi kegelisahan kita bersama, jika Islam dijadikan sebagai tameng individu atau kelompok dengan mengatasnamakan Tuhan. Akhir-akhir ini kita sering melihat gejala mengatasnamakan Islam. Kalau tidak Islam berarti harus diperangi atau diislamkan. Ini terjadi karena Islam telah dijadikan sebagai sebuah identitas yang parsial-ekslusif, bukan identitas yang melebihi identitas individu, agama, etnik, dan budaya, dan selanjutnya digunakan untuk menilai diri di luar dirinya. Seringkali kita mengajak berjihad di jalan Allah demi Islam, sementara kita tidak sadar bahwa peperangan itu sendiri akan mengakibatkan ribuan korban jiwa dan mengancam ketentraman bersama, bahkan mengobarkan api permusuhan. Kita telah mempersempit medan makna Islam sehingga pandangan keislaman kita menjadi lebih picik dan tertutup. Sekarang tiba saatnya kita mengembalikan makna Islam pada sistem maknanya sendiri yang progresif-visioner, lintas individu, agama, kelompok, etnik, dan budaya. [mf]

Tuesday, November 17, 2009

Ketika Masyarakat Melupakan Sejarah

Oleh: M. Faisol Fatawi

Akhir-akhir ini Depag membagikan beasiswa studi di perguruan tinggi Islam negeri—meskipun ini bukan yang pertama kali. Beasiswa itu diberikan secara mutlak (mulai semester pertama sampai terakhir). Beasiswa ‘langka peminat’ namanya. Upaya ini dilakukan dalam rangka menarik minat masyarakat agar mereka mau belajar di bidang keilmuan tertentu. Satu diantara bidang keilmuan yang ditawarkan untuk mendapatkan beasiswa langka peminat tersebut adalah bidang sejarah peradaban/kebudayaan Islam. Bagi siapa saja yang berminat belajar di jurusan (bidang) sejarah peradaban/kebudayaan Islam ini, maka akan mendapat jaminan gratis kuliah sampai selesai.
Upaya membuka beasiswa langka peminat sebagaimana tersebut diatas menunjukkan keseriusan Depag dalam mengembangkan bidang kajian sejarah Islam khususnya, dan pembangunan dunia pendidikan pada umumnya di satu sisi. Tetapi pada saat yang sama, upaya tersebut mengundang keprihatinan kita semua. Kita prihatin karena ternyata concern masyarakat Islam khususnya, telah mencapai titik nadir; masyarakat ternyata tidak tertarik lagi dengan sejarah. Bagi mereka, sejarah seolah tidak memiliki arti apa-apa sehingga tidak tertarik untuk mengkaji dan mendalaminya. Sudah sedemikian parahkah masyarakat Islam kita sehingga emoh dengan sejarah, sampai-sampai Depag harus menawarkan studi gratis di jurusan sejarah Islam?
Sejarah merupakan catatan dan rekaman mengenai peristiwa-peristiwa atau momen-momen penting yang telah terjadi masa lalu. Ia menjadi bagian hidup yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Setiap masyarakat selalu memiliki catatan sejarahnya, baik sejarah itu kelam maupun jaya. Sejarah berisi tentang rekaman berbagai aktifitas, seperti pengetahuan, tradisi, adat-istiadat, ritual-ritual, waktu peperangan dan hal-hal yang terkait dengan kehidupan manusia. Maka dapat disebutkan, sejarah tidak lain adalah identitas hidup manusia dimanapun berada.
Sedemikian pentingnya sejarah bagi kehidupan umat manusia, agama Islam memberikan perhatian lebih terhadapnya. Dalam surat al-Hasyr dinyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwahlah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaknya seseorang melihat apa yang telah terjadi untuk hari esok. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan.” Ayat tersebut menegaskan kepada kita tentang perintah untuk menengok kebelakang (baca: melihat) atas apa-apa yang telah berlangsung untuk kepentingan hari esok. Melihat kembali masa lalu berarti mengambil ibrah darinya. Ini sejatinya dilakukan demi kemaslahatan hidup pada saat berikutnya.
Pada hakekatnya, setiap manusia hidup dalam tiga batasan waktu. Yaitu, masa lalu (al-madli), sekarang (al-hadlir) dan masa depan (al-mustaqbal). Waktu yang pernah dilalui oleh manusia dengan berbagai bentuk aktifitas yang dilakukan, masuk dalam batasan masa lalu. Masa yang sedang dilalui, menunjukkan waktu sekarang. Sementara itu, masa yang akan dilalui dinamakan dengan masa datang. Hubungan manusia dengan masa lalu bersifat flash back, hubungan dengan masa sekarang bersifat kekinian dan hubungan dengan masa akan datang bersifat prediktif. Menengok masa lalu berarti melihat dan membaca kembali segala yang pernah terjadi. Sedangkan melihat masa sekarang berarti merasakan dan menjalani apa-apa yang sedang dijalankan. Sementara melihat masa depan berarti menanti sesuatu yang akan terjadi. Apa yang terjadi pada masa lalu tidak dapat dirubah dan apa yang akan terjadi di masa mendatang dapat direncanakan sebelumnya.
Disadari maupun tidak disadari, manusia cenderung mengabaikan pentingnya waktu/masa (dahulu, sekarang dan mendatang). Masa dianggap sebagai sekedar perjalanan momen-momen. Bahkan yang sering kita lakukan terkait dengan masa lalu, sekarang dan akan datang, adalah memperlakukannya sebagai rutinitas pergantian waktu semata, sehingga kita sering kehilangan kontrol dalam bertindak atau melakukan sesuatu; apa yang sudah pernah dilakukan, apa yang sedang dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Jika memang kebiasaan seperti ini yang sering kita lakukan dalam mensikapi waktu, maka tentunya kita sebagai orang muslim masuk dalam kategori orang yang merugi (coba perhatian QS. al-Ashr: 1-2).
Sungguh, fenomena ketidak-tertarikan masyarakat Islam khususnya, terhadap sejarah merupakan gejala yang memilukan. Kita berharap semoga langkanya peminat dari masyarakat Islam terhadap sejarah peradaban/kebudayaan Islam sebagaimana disebut di atas, hanya sebatas kealpaan sesaat, dan tidak menjalar menjadi nalar-epistemik masyarakat Islam kita. Jika tidak, maka sebuah tragedi sejarah paling kelam dalam sejarah-sejarah umat manusia akan terjadi; manusia lupa sejarah dan berarti ia akan teralienasi dari otentisitas dirinya.[mf]