Memperingati sebuah peristiwa yang dianggap punya hubungan erat dengan sangkanparaneng dumadi serta perjalanan kehidupan adalah sesuatu yang lumrah dan menjadi menu sehari-hari di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita. Hampir semua peristiwa yang di anggap penting selalu di peringati dengan upacara-upacara, mulai dari yang sederhana dan ongkosnya murah sampai yang mewah dan menelan biaya yang sangat besar. Seremonial yang dibikin dan disesuaikan dengan asumsi nilai-nilai yang sedang dikenang dan diperingati, seolah menjadi sebuah keharusan yang harus dipenuhi dengan sempurna tanpa cela sedikitpun. Sebuah upacara punya makna dan tujuannya masing-masing disesuaikan dengan niatannya serta diharapkan mampu menghantarkan hajat yang diinginkannya menjadi sebuah kenyataan.
Menjalankan sebuah upacara bukan hanya sebuah seremonial yang semata-mata didasarkan pada keinginan si empunya hajat mengenai waktu dan perlengkapan, akan tetapi harus di sesuaikan dengan tata kosmis yang sudah disepakati oleh hitungan hari, hitungan pasaran dan hitungan bulan serta hitungan-hitungan yang bersumber pada dunia lain yang diyakini melingkupi dan mempengaruhi kehidupan. Menilik sekian hitungan yang bersumber pada kenyataan hidup masysrakat nusantara ratusan tahun yang lalu, yang bahkan sudah menjadi darah dan daging masyarakat, mungkin disinilah yang membedakan upacara-upacara serupa yang ada di luar nusantara. Sistem nilai yang diyakini sebagai sesuatu yang nyata dan berpengaruh pada kelangsungan hidup mesti dijaga agar kosmis antara Jagad Gede dan Jagad Cilik berputar secara seimbang sehingga manusia mampu menjalankan Kamungsan-nya sesuai yang diinginkan oleh Sang Pencipta. Nilai-nilai inilah yang sampai hari ini selalu berada dibalik seremonial yang formal dan monoton.
Sebagai satu contoh peringatan kematian seseorang selalu dihitung sesuai dengan hari dan pasaran serta tata aturan peringatan yang pakem-nya sudah dianggap sebagai sesuatu yang final dan tidak memerlukan pembaharuan. Mungkin sesuatu yang dianggap mampu menjadi daya yang memudahkan si-meninggal mengarungi Alam Barzah akan selalu menjadi bagian yang tidak akan pernah ditinggalkan serta ditiadakan disetiap upacara, seperti bacaan Tahlil, Alquran, serta pujian-pujian ketuhanan dan bentuk makanan-makanan tertentu. Fenomena inilah yang menjadi fakta disetiap peringatan kematian seseorang dan sampai hari ini itulah yang selalu dijalankan masyarakat, sehingga peringatan kematian yang seharusnya dijadikan ruang refleksi untuk mengaca diri seperti suri teladan yang dilakukan oleh si-mayit semasa hidupnya tidak pernah sampai menjadi ingatan dan perilaku saat upacara dilangsungkan.
Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini pada setiap peringatan kematian lebih sering menjadi tempat refresing spiritual dan mencari berkah dari si mati. Hal ini tidak salah tetapi akhirnya tidak menyentuh wilayah subtansi dari peringatan kematian tersebut. Orang lebih banyak disibukkan oleh situasi di luar nilai-nilai yang mesti dijadikan refleksi tetapi terjebak pada formalitas dan kecenderungan menganggap yang mati punya kemampuan secara utuh dan bulat mempengaruhi yang hidup sekali lagi hal ini juga tidak salah tetapi mencerabut peringatan kematian dari makna yang mesti diambil sebagai peringatan bagi si hidup yang suatu saat akan mengalami putaran kematian. Fenomena haul yang selalu menjadi bagian tidak terpisahkan di setiap kematian para ulama, para auliya’ dan para manusia yang diyakini pengejawantahan karomah Tuhan hari ini mesti kita refleksikan ulang. Seremonial yang biasanya dijalankan di pesarehan kalah ramai dan kalah heboh dengan kegiatan yang ada di luar. Orang jalan-jalan menikmati hiburan, orang berjualan menunggu orang jalan- jalan, muda-mudi berembuk masa depan dan segala peristiwa yang sama sekali tidak berhubungan dengan nilai-nilai dan refleksi kematian, hal ini juga tidak salah sebab mereka juga bagian yang dulu pernah diperjuangkan hak-haknya oleh si-mayit agar mendapatkan kehidupan yang lebih layak, akan tetapi mencerabut serta meredusir makna bahwa sebuah kematian harus diambil hikmah bagi si hidup untuk mencari bekal-bekal menghadap Ilahi. Inilah fakta hari ini bahwa sudah tidak ada sesuatu yang murni dan berdiri sendiiri sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi namun semua sudah bercampur baur dengan peristiwa sosial yang juga berjalan lurus dan saling terkait. Dua buah fenomena yang mungkin tidak pernah terbayangkan akan berjalan bersama antara yang transenden dan yang profan tapi itulah kenyataan yang kita mesti mampu mengelolahnya secara bijaksana dan tidak emosional.
Peristiwa peringatan kematian sebagai sesuatu yang sakral karena mencoba menyambung antara yang lahut dengan yang nasut sebagai sesuatu yang sangat pribadi dan mungkin berdiri sendiri pada kenyatannya harus berkompromi dengan realitas manusia yang juga semakin kompleks dan berjalan beriring dengan arus ekonomi, politik, kebudayaan dan lain-lain. Maka tidak mengherankan kalau hari ini ada peringatan kematian yang sarat dengan muatan politik karena ketika peringatan kematian menyentuh wilayah manusia hidup yang sedang bergerak di alur politik dan sebaliknya tidak terlalu mengherankan kalau tiba-tiba peringatan kematian berubah menjadi satu wilayah pasar ekonomi yang berputar dalam satu lingkar yang kita sebut sebagai sesuatu yang sakral. Hanya mungkin nilai-nilai budaya yang hari ini selalu menempati wilayah seremonial untuk membungkus yang ekonomi maupun yang politik. Hanya saja akhirnya kadang masyarakat yang pangling ketika dia memahami peringatan kematian sebagai sarana untuk tabarrukan berubah wujud menjadi silang sengkarut dan saling sandra dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kematian yaitu politik dan ekonomi. Namun dalam hal ini tidak ada yang salah sebab semua tergantung pada pelaksana dan keluarga si-mayit sementara orang lain hanyalah umat yang merasa handarbeni dan diopeni sama si-mayit. Inilah wajah sekaligus potret perubahan masyarakat hari ini.
Campur baur antara yang khusyu’ membaca kalam Ilahi, berdo’a sekaligus ngalap berkah agar kesalehan, ketulusan, Kawicaksanan serta kealiman sumrambah dan manjing ke dalam urat darah sehingga langkah hidup dan kehidupan pribadi menemukan arah yang diridloi berbaur dengan para korak, tukang tipu, tukang copet, tukang sulap yang hanya mementingkan diri pribadinya tanpa sedikitpun menghargai si-mayit. Sementara pada sudut yang lain para pengemis dan anak jalanan serta orang-orang cacat menunggu uluran tangan dari si-kaya agar ususnya tidak lengket karena tidak kemasukan makanan. Orang-orang khusyu’ adalah orang-orang yang mungkin percaya dan menjalankan apa yang pernah dipedomankan oleh si-mayit sementara para korak adalah orang-orang yang diharapkan taubatnya oleh si-mayit dan kaum papa adalah orang yang diperjuangkan oleh si-mayit. Maka fenomena itu mungkin saja mewakili apa yang pernah menjadi prilaku hidup dan harapan si-mayit serta menjadi kaca benggala yang kita mesti berkaca dan melihat fakta hidup si-mayit. Yang mungkin dari situ kita bisa menjadi penerus perjuangan yang baik dari apa yang sudah digadang-gadang oleh si-mayit.
Di sinilah sebenarnya titik pijak refleksi harus dimulai sebab masa lalu si-mayit yang hadir saat peringatan kematiannya adalah fakta bahwa dia pernah bersinggungan dan bersentuhan dengan mereka. Membaca masa lalu lewat fakta hari ini yang riel sudah terjadi pergeseran karena ruang dan waktu yang juga terus begeser dengan tidak menyesali apa yang sudah terjadi tetapi, berkaca bahwa hari ini adalah kenyataan yang mesti kita terima dengan kebijaksanaan untuk kita carikan apa jalan keluar yang terbaik dan apa yang mesti menjadi pijakan dari realitas yang tidak pernah berjalan mundur. Kembali kepada subtansi silaturrahmi dengan masa lalu lewat peringatan hari ini adalah bagaimana kita bisa mengelolah masa depan yang lebih baik tanpa menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri. Bercampurnya hamba Tuhan yang baik dengan para korak dan kaum papa dalam peristiwa perhelatan peringatan kematian adalah wajah agama dan kebenaran memang harus berada di tengah-tengah mereka. Orang baik dan orang buruk bukan dua muka dalam satu keping mata uang yang tidak pernah bisa ketemu tetapi mereka adalah kolam dan ikan yang saling membutuhkan tanpa saling menghancurkan. Yang baik harus bisa ngemong yang buruk dan yang kaya ngemong yang miskin. Menelisik masa lalu adalah menentukan dari mana kita harus memulai hari ini dan menggenggam hari ini adalah memahami masa lalu untuk melompat ke masa depan yang lebih baik.
*Penulis adalah Kyai Muda NU, Aktivis Pergerakan Dan Politik
1 comment:
nulis taeq2 ta bad ... ////
Post a Comment