Dari Seks Menuju Masyarakat Baru
Seks merupakan sesuatu yang natural dan kodrati dalam diri kita. Ia bekerja secara naluriah setiap kali saraf mata kita menangkap stimulus tertentu atau indera kita yang lainnya menangkap stimulus yang sejenis. Ini menyebabkan mengapa di dunia yang sudah global sekalipun, seks tetap muncul sebagai daya tarik tersendiri di antara sekian banyak persoalan. Pengeksplotasian seks secara massif, baik seperti yang ada dalam iklan TV atau dalam media cetak, merupakan contoh kecilnya. Ini menunjukkan betapa pemahaman kebanyakan orang terhadap seksualitas baru hanya pada aspek yang menyangkut genitalitas dan organ seks sekunder lainnya. Seks dipahami hanya dari dimensi biologis-fisiknya saja, tidak dari dimensi behavioural, psiko-sosial, klinis atau dimensi kulturalnya. Lebih ironisnya lagi, di tengah masyarakat kita seks masih dianggap tabu. Menurut FX Rudy Gunawan pentabuhan seks dalam berbagai bentuknya, lebih merupakan bentuk-bentuk campur tangan kepentingan lain: kekuasaan politik, ekonomi, agama dan lain-lain.
Dalam konteks politik, selama ini, sexual identity lebih merupakan sebuah political idea atau sebuah ide politik yang selalu dimanfaatkan oleh para penguasa untuk melakukan fungsi kontrol terhadap masyarakat. Dalam konteks ini, untuk membicarakan seks, kita harus menggunakan perumpamaan-perumpamaan, penghalusan-penghalusan, atau bentuk retorika kiasan dan metafor. Bahasa benar-benar dikendalikan dengan ketat. Maka akibat selanjutnya muncul pelipat-gandaan wacana mengenai seks di dalam wilayah kekuasaan itu sendiri, yaitu berupa dorongan institusional untuk membicarakannya dan bahkan untuk semakin membicarakannya. Rezim Orba misalnya, sebenarnya telah mentransfer cara pentabuhan seks selama berabad-abad yang dilakukan oleh berbagai rezim kekuasaan di mana-mana, meskipun terjadi secara langsung.
Dalam agama, pentabuhan seks bermula dari persepsi tentang penciptaan Adam dan Hawa. Asumsi bahwa Adam diciptakan lebih awal ketimbang Hawa dipandang sebagai penanda bahwa kaum laki-laki harus lebih dulu, harus nomor satu, dan bahkan harus lebih tinggi di atas perempuan. Ketidakseimbangan posisi ini pada akhirnya berujung pada ketidakadaan penghargaan terhadap tubuh: yang terjadi malah pengeksplotasian, pelecehan, bahkan kekerasan terhadap tubuh perempuan.
Pentabuhan seks akan melahirkan sikap tidak adil akan sexsual identity atau pembedaan gender antara kaum laki-laki dan perempuan. Aturan perkawinan misalnya, di tengah masyarakat mestinya tidak dirancukan dengan nilai-nilai keperawanan (virginitas) sehingga yang terjadi kemudian adalah persepsi bahwa lembaga perkawinan merupakan legitimasi dari sebuah hubungan seks atau sexual intercourse.
Menurut Rudy Gunawan, hubungan seksual sendiri sama sekali tidak membutuhkan legitimasi formal apapun karena hubungan itu sudah legitimate jika dilakukan atas dasar keinginan bersama, merupakan ekspresi dari hubungan emosional antara sepasang manusia, tidak merugikan salah satu pihak, dan bukan merupakan wujud penguasaan (dominasi) dari kaum laki-laki terhadap perempuan. Lembaga perkawinan lebih merupakan wujud komitmen lanjutan antara sepasang manusia tersebut dengan tujuan mempermanenkan hubungan tersebut, meneruskan keturunan, dan untuk memudahkan pendidikan terhadap anak-anak. Maka persoalannya kemudian bukan kapan seorang perempuan melepas keperawanannya, namun bagaimana ia melepaskan keperawanannya.
Di sini kemudian kita harus memahami seks sebagai wacana tubuh. Ini prinsip awal yang harus ditanamkan dalam setiap individu. Karena tubuh itu, secara nyata, mewakili kehormatan seseorang, maka kita harus menghormati integritas tubuh pasangan kita. Karena pernah menyetubuhinya, bukan berarti lantas kita harus memilikinya. Untuk itu seks harus dibicarakan sebagai sebuah bidang umum. Sebagai sebuah unsure yang sangat esensial dalam diri manusia yang menentukan keberadaan atau eksistensi manusia seutuhnya. Seks merupakan kodrat alamiah setiap manusia yang menjadi bagian yang integral dalam dirinya. Oleh karena itu, mencari nilai-nilai inheren atau intrinsic dari seksualitas menjadi lebih urgen dan signifikan.
Namun apabila manusia gagal atau tidak memahami kodrat seksualnya, maka yang terjadi adalah kebejatan moral. Kegagalan itu dapat dilihat dalam perilaku-perilaku seperti pedholfili dan korelasinya dengan pelacuran anak, perilaku sadomasochis atau sadisme dalam seks, dan insect. Seks yang semestinya harus dihormati sebagai bagian dari eksistensi kehidupannya yang mempunyai nilai-nilai intrinsic berubah, dijadikan sekedar alat ekspresi.
Nilai-nilai sejati dari seksualitas harus dicari. Karena ternyata wacana seks mencakup hampir semua dimensi dan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan. Kausalitas pada manusia, alam bawah sadar manusia, prinsip-prinsip hubungan antara manusia, dan perkembangan suatu kebudayaan, semuanya berkembang dalam wacana seks. Bahkan kegiatan manusia, atau ukuran kebudayaan sekalipun. Wallahu a’lam.
* M. Faisol Fatawi, anggota IKAPPI Jogja sekarang Dosen UIN Malang.
No comments:
Post a Comment