Oleh: M. Faisol Fatawi
Ada hal yang menarik kalau kita mau mencermati perbedaan antara cara kaum sufi dengan umat islam pada umumnya dalam membangun hubungan dengan Allah. Perbedaan itu terkait dengan cara pandang masing-masing dalam memahami tanggungjawab makhluk sebagai ciptaan Allah. Dengan kata lain, terdapat pemahaman yang berbeda mengenai hakekat ketaatan kepada sang Khaliq antara seorang sufi dengan seorang muslim biasa.
Pada umumnya, kita memahami keberadaan seorang manusia di hadapan Tuhan dengan pola hubungan berhadap-hadapan. Manusia dipahami sebagai seorang hamba atau yang lebih populer disebut dengan abid. Sementara Tuhan didefinisikan sebagai ma’bud atau Dzat yang harus disembah. Sebagai abid (hamba), setiap manusia harus mengabdikan dirinya kepada Tuan yang menciptakannya, yang menjadi sumber segala-galanya. Seluruh jiwa dan raganya harus ditujukan demi penghambaan kepada Tuhan (sang ma’bud). Di hadapan seorang abid, Tuhan adalah realitas tertinggi yang mengatasi dan melampaui segala-galanya. Terdapat ketaatan mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang hamba kepada Tuhannya.
Cara pandang seperti itu, dapat secara nyata kita temukan dalam literatur-literatur keislaman. Dalam beberapa khazanah kitab tafsir misalnya, disebutkan bahwa salah satu pengertian Islam adalah tunduk atau taat. Mayoritas mufassir menyatakan bahwa ketaatan merupakan suatu keniscayaan bagi seorang hamba (abid) kepada Tuhan. Karena, dalam pengertiannya yang paling ekstrim, Islam dapat dipahami sebagai bentuk ketundukan secara politis; ketundukan yang lahir dari keterpaksaan karena status inferioritas diri dihadapan “yang maha superior”. Di satu sisi, pemahaman seperti ini tentu ada baiknya. Tetapi di sisi lain terkadang melahirkan sikap-sikap keberagamaan yang kaku, rigid dan jumud, dengan mengatasnamakan syariat ketuhanan. Maka, ketaatan dipandang sebagai sekedar upaya untuk melaksanakan sekumpulan ritualitas keagamaan belaka.
Kita mungkin akan menemukan cara pandang yang berbeda dengan semua itu, jika mau balajar dari kaum sufi dalam menjalin hubungan dengan Tuhan. Adalah benar bahwa bahwa para sufi memandang agama merupakan bentuk ketaatan yang bersifat mutlak. Tetapi, bagi mereka agama juga dipandang sebagai bukan sekedar kumpulan-kumpulan ajaran atau ritual yang kaku dan rigid.
Saya melihat ada kesadaran kritis yang dimiliki oleh kaum sufi dalam memahami dan menjalankan ketaatan kepada Tuhan. Kesadaran kepatuhan yang dimiliki oleh kaum sufi lahir dari sebuah pemahaman akan pertemanan diri dengan Tuhan. Hubungan seorang sufi dengan Tuhan selalu dibangun atas dasar hubungan kesetaraan dalam pengertian bahwa dalam diri manusia terdapat cermin ketuhanan dan dalam diri Tuhan ada cermin kemanusiaan. Oleh karena itu, kita sering mendengar sebuah pernyataan—yang konon diyakini sebagai hadits nabi—yang berbunyi: “siapa yang mengerti dirinya, maka akan mengerti Tuhannya.” Dengan nada yang sama al-Hallaj pernah menyatakan, “Akulah orang yang merindu, kami adalah dua ruh yang menyatu. Ketika kau melihatku kau melihat-Nya, dan ketika kau melihat-Nya kau telah melihat Kami.”
Apa yang dikatakan oleh al-Hallaj tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa hubungan antara seorang sufi dengan Tuhan bukanlah hubungan seorang abid dengan ma’bud seperti yang dipahami oleh umat Islam pada umumnya. Tetapi, hubungan Tuhan dengan seorang sufi berada dalam pengertian asyiq (yang merindu) dan ma’syuq (yang dirindukan). Layaknya seorang pacar, ketaatan seorang sufi terhadap Tuhan berada dalam hubungan yang saling merindu, penuh kemesraan dan kecintaan. Kebermaknaan seseorang dan Tuhannya menjadi ada karena adanya dua entitas yang saling memancar dan mencitra dalam dirinya masing-masing.
Dengan demikian, kebermaknaan manusia dan Tuhannya--kalau boleh dikatakan--laksana satu keping mata uang logam yang antara satu sisi dengan sisi lainnya saling mengikat dan memberi makna. Dalam sebuah hadits qudsi yang sering dinukil oleh kaum sufi, dinyatakan bahwa Allah SWT bertitah: “Aku membangun dalam lubuk anak Adam sebuah istana yang Aku beri nama dada (shadr). Di dalam dada adalah qalb, di dalam qalb ada fu’ad, di dalam fu’ad ada lubb dan di dalam lubb ada cinta. Di dalam cinta terdapat hafiyy, di dalam hafiyy ada sirr (kerahasiaan) dan di dalam sirr ada Aku yang tidak ada Tuhan selain Aku.”
Sampai di sini dapat dikatakan, bahwa keimanan seorang sufi lahir sebagai wujud ‘kesadaran kritis’ dari pertemanan antara diri seorang hamba dengan Allah-nya, yang saling merindukan (asyiq-ma’syuq). Dalam diri seorang insan memancar cahaya ketuhanan, dan dalam wajah Tuhan tergambar rasa kerinduan akan hambanya. Orang yang mampu mengerti dan mengenal Allah—dalam bahasa kaum sufi--berarti masuk dalam kategori kaum ârifîn, karena memiliki kedekatan khusus dengan-Nya. Tak heran jika dikatakan bahwa orang-orang yang masuk dalam tingkatan ârif, maka orang itu menjadi kiblat bagi Allah. Andai Tuhan menjelma kedunia menjadi “Kekasih” kita semua?[mff]
No comments:
Post a Comment