Oleh: M. Faisol Fatawi
Studi tentang sejarah penyebaran Islam memang sudah banyak dilakukan. Tapi, semua itu lebih banyak menekankan pada aspek perlakuan masyarakat Islam terhadap masyarakat non-Islam. Tak demikian dengan buku Agama dan Perubahan Sosial yang merupakan hasil penelitian lapangan tentang penyebaran Islam. Buku yang mengambil sampel di Aceh, Malaka, Patani, Ternate, Goa-Talo, dan Lombok ini merumuskan suatu kerangka teoritis seputar tipologi penyebaran Islam dan pembentukan formasi sosial masyarakat islam di Indonesia. Hasilnya: terlihat adanya hubungan erat antara agama dan pembentukan formasi sosial pada tingkat ekonomi, politik, dan budaya melalui peranan produksi, sirkulasi, dan konflik elit.
Setelah runtuhnya dominasi Cina dan India, dan jatuhnya Mesir ke tangan pasukan Kristen, imperium Islam di Timur Tengah mulai kehilangan monopolinya. Orang-orang Arab mulai membentuk koloni-koloni pedagang yang kemudian berlanjut pada perkawinan campur. Koloni-koloni itu selanjutnya merebut posisi kunci penguasa lokal non-Islam. Nah, keterkaitan antara penyebaran Islam, kepentingan politik dan ekonomi inilah yang menyebabkan citra kekuatan Islam bersifat ekspansionistis.
Setidaknya, citra itu terlihat pada proses penyebaran Islam di Aceh. Pada awalnya Islam datang ke Aceh (Sumatra Utara) dibawah para pedagang Islam –yang membentuk koloni-koloni-- lewat pelabuhan. Beberapa daerah pelabuhan mulai mereka taklukkan. Hal itu beriringan dengan menguatnya koloni-koloni tersebut. Posisi ini diperkuat lagi dengan pemberian hak istimewa oleh pihak kerajaan setempat, baik secara politis maupun ekonomis, kepada koloni-koloni tersebut. Dengan demikian, mereka melakukan konglomerasi dan menggempur kekuasaan Hindu atau Budha. Di sini, Islam menemukan kesadaran oposisional dan berfungsi sebagai ideologi. Pluralitas masyarakat Aceh kemudian bergerak menuju hegemonisasi ideologi (Islam).
Tak demikian dengan penyebaran Islam di Malaka, Patani, Ternate, dan Goa-Talo. Wajah penyebaran Islam di wilayah ini lebih mengarah pada pribumisasi Islam, jauh berbeda dengan yang terjadi di Aceh. Ketika Islam datang di negeri-negeri ini, pusat kekuasaan lokal (Molutu Kei Raha) sudah terbentuk dan memiliki basis legitimasi geneologis-teritorial yang kuat. Karena itu, fase awal islamisasi di negeri-negeri ini tidak memberikan landasan yang cukup untuk pembentukan negara Islam, malahan semakin menjauhkan diri dari kawasan politik dan ekonomi. Kehadiran Islam di sini seolah hanya sekedar memberi konfirmasi atas struktur yang ada. Ia hanya memanifestasikan diri dalam bentuk kebudayaan yang lebih riil.
Selain itu, model penyebaran Islam di daerah Indonesia yang lain adalah sinkretisme antara Islam dengan religi lokal yang telah berakar kuat. Ini tampak dalam proses islamisasi di wilayah Lombok. Beberapa konflik mewarnai hubungan Islam dengan kultur lokal, seperti konflik antara Islam ortodoks (wetu lima) dengan wetu telu, para perwangsa dengan triwangsa, serta perpecahan internal antara kelompok Islam dan kelompok ajaran pagan. Namun, buah dari konflik itu justru meghasilkan dialog atas dasar negosiasi “adat bersendi syara’, syara’ bersendi adat”. Ini merupakan akumulasi tertinggi hasil negosiasi dua kultur yang sama kuatnya.
Singkat cerita, buku yang merupakan hasil wawancara langsung dengan penduduk setempat ini memberikan cakrawala lebih luas tentang sejarah kedatangan Islam di bumi Nusantara, khususnya teori model penyebaran Islam.[mff]
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Gamma Nomor 26 Tahun III, 15-21 Agustus 2001
No comments:
Post a Comment