Wednesday, July 1, 2009

MEMBONGKAR PARADIGMA PATERNALISME KE-KYAI-AN

MEMBONGKAR PARADIGMA PATERNALISME KE-KYAI-AN

Selama ini seorang kyai lebih dipahami sebagai elite relijius yang memikul tanggung jawab segala hal yang tidak saja berhubungan dengan masalah-masalah agama, tapi juga masalah-masalah sosial. Dalam banyak hal kyai seringkali menjadi tumpuan terakhir bagi persoalan-persoalan sosial keagamaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Fatwa mereka tentang bagaimana suatu hal yang bersifat relijius (dan sosial) harus dilaksanakan, selalu menjadi inspirasi bagi umat. Melihat peran, fungsi dan kedudukan kyai yang begitu sentral, tidak berlebihan jika beberapa per-soalan pelik yang berkembang beberapa tahun terakhir ini – tentunya yang masih bersentuhan dengan masalah sosial keagamaan, seperti kasus SARA dan benturan-benturan antar umat beragama – tetap mengharapkan kehadiran dan partisipasi kyai untuk aktif mencari jalan ke-luarnya.
Dalam komunitas mereka, yaitu dunia pesantren, seorang kyai adalah seorang ayah non biologis bagi komunitas pesantren, yang tidak saja memiliki kekuasaan yang menentukan dalam bidang agama dan sosial, tapi juga politik. Fatwa dan sikap seorang kyai, misalnya tentang pilihan dan aliansi politik akan serta merta diterima oleh para santrinya sebagai suatu keputusan final. Dilihat dari fenomena sosial seperti ini, sesuatu yang wajar jika dalam momen-momen politik tertentu --terutama menjelang Pemilu-- kyai seringkali digunakan sebagai sumber legitimasi dan sa-rana untuk memobilisasi massa –misalnya-- untuk memilih suatu parpol tertentu.
Besarnya kharisma dan pengaruh kyai seperti di atas, secara sosiologis tidak terlepas dari sistem sosial dan tatanan nilai yang masih sangat kental dianut dunia pesantren, yaitu sistem paternalisme. Da lam sebuah sistem yang masih dirembesi oleh paham paternalistik ini, seorang pemimpin atau tetua akan dipahami dalam ‘titik ekstrem ilahiah’. Artinya, seorang pemimpin dipandang sebagai representasi dari segala kekuatan ‘sakral dan agung’, sehingga segala hal yang berhubungan dengan sang pemimpin akan cenderung dipahami sebagai kebenaran absolut, final dan tak ter-bantahkan.
Sistem sosial yang masih kuat dipegangi oleh komunitas pesantren ini juga simetris (bersesuaian) dengan sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat luas. Sampai kini posisi kyai dalam struktur sosial masyarakat kita tetap dipandang sebagai maha guru, “ayah” dan representasi ilahi yang memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Posisi semacam ini menempatkan kyai sebagai pihak yang harus dihormati, ditaati dan ditunggu fatwa-fatwanya, sedang masyarakat memposisikan diri Da lam sikap sami’na wa atha’na. Konsep sosial ke-kyai-an seperti ini tidak hanya hidup dalam kesadaran dan common sense masyarakat awam, tapi juga mendapat imbangannya dalam kesa-daran dan common sense kyai sendiri. Sehingga, pemahamandiri kyai terhadap peran, fungsi dan posisi mereka sebangun dengan pemahaman yang hidup dalam kesadaran masyarakat awam. Dalam Dataran praktis dan kehidupan sehari-hari, fungsi sosial yang mereka miliki, disadari atau tidak, menyebabkan mereka merasa berhak untuk mendapatakan dan menerima penghormatan, pengabdian dan perla-kuan istimewa dari komunitas mereka.
Bertahannya nilai-nilai paternalisme-feodalistik dalam dunia pesantren mungkin tidak dapat dilepaskan dari akar historis lahirnya pesantren itu sendiri, di samping juga karena macetnya dialektika internal dalam dunia pesantren. Dua hal yang sebetulnya berjalin berkelindan da-lam membentuk fenomena masyarakat pesantren. Untuk yang pertama, secara historis pesantren memang lahir dalam kondisi masyarakat yang masih dikuasai oleh nilai-nilai feodalisme, dan secara sosiologis ternyata kebanyakan para kyai lahir dari keluarga kelas atas yang dalam sistem masyarakat feodal adalah tuan-tuan. Sedang faktor yang kedua, dalam perjalanan sejarahnya ternyata pesantren dan komunitas santri tidak mampu (atau tidak mau?) melakukan dialektika internal untuk menjaga dinamikanya. Itulah sebabnya mengapa sampai kini nilai-nilai paternalitik masih tetap dominan dalam dunia pesantren.
Faktor mandegnya dialektika internal pesantren, yang telah menyebabkan bertahannya nilai-nilai paternalistik dalam dunia pesantren, sebetulnya merupakan fenomena yang patut disayangkan. Sebab, kyai yang nota bene adalah elit intelektual gagal melakukan dinamisasi terhadap sistem sosial dan perangkat-perangkat nilai yang mendukung tatanan sosial mereka. Ini dibuktikan bahwa se-lama ini tidak pernah ada “revolusi so-sial” dalam dunia pesantren untuk merombak tatanan nilai dan norma sosial mereka. Artinya, posisi sentralistik seorang kyai yang merupakan warna paling dominan dari dunia pesantren sama sekali tidak pernah mendapat gugatan. Sehingga mungkin bukan suatu hal yang aneh jika seringkali kita mendapati beberapa kyai masih gagap ketika berhadapan dengan demokratisasi – meskipun dari segi retorika cukup lugas dan fasih. Mereka belum cukup mampu beradaptasi dengan sistem sosial baru yang menghendaki akunta-bilitas dan egalitarianisme.
Kegagalan kyai dan komunitas santri untuk beradaptasi dengan sistem demokrasi terlihat jelas tatkala Gus Dur menjadi presiden. Saat itu kita melihat betapa barisan para kyai berupaya memobilisir dukungan untuk Gus Dur. Meskipun tindakan seperti ini sah sebagai strategi memenangkan pertarungan, tapi metode dan strategi yang dipakai ternyata menimbulkan dampak sosial politik yang tidak sehat di tengah-tengah masyarakat. Pertama, upaya dan manuver para kyai lebih terkesan sebagai upaya penyera-gaman sikap dan pilihan politik, dimana masyarakat (komunitas santri) digiring pada satu pilihan dan sikap politik ala Orde Baru: mendukung atau musuh. Kedua, di tingkat akar rumput terjadi “pengucilan” terhadap mereka yang dipandang berseberangan dengan aspirasi yang diusung para kyai.
Meskipun fungsi sosial kyai sebagai figur sentral dalam tata kehidupan bermasyarakat sudah agak berkurang dan tidak sebesar dahulu karena mungkin sudah tergantikan oleh figur-figur lain, namun corak masyarakat kita yang masih kental dengan corak paternalisme relijiusitasnya, maka dalam praktek sehari-hari seorang kyai tetap memainkan fungsi yang cukup vital, terutama dalam hal pembentukan corak dan ka-rakter masyarakat.
Sebagai tuntutan zaman, tam-paknya para kyai perlu untuk mengkaji ulang paradigma ke-kyai-an yang selama ini mereka pertahankan. Dalam sistem dunia global seperti saat ini, dimana tuntutan utamanya adalah terbentuknya masyarakat sipil yang ditandai kesamaan hak, kedudukan, akuntabilitas, para kyai dituntut untuk melakukan dekonstruksi terhadap nilai-nilai dan norma-norma sosial paternalistik dan tertutup yang selama ini dipandang valid. Wallahua’lam.[Ubaidillah Bahrum, eks IKAPPI DIY]

No comments: