Thursday, November 10, 2011

Ilmu Kalam (Ushuluddin III)

B. Majusi / Zoroaster

Merupakan ajaran Zarathustra yang lahir 258 tahun sebelum Iskandar Agung atau sekitar abad ke-6 SM. Pokok ajarannya terkandung dalam kitab suci Zean Avesta (zean = penjelasan, avesta = hukum). Zarathustra mengajarkan adanya dewa-dewa yang terbagi dua bagian, yang tertinggi Ahura Mazda (Ormudz) adalah Tuhan Terang (Lord of Light) memancarkan Vaho Manah (pikiran baik), Asha Vahista (keadilan tertinggi), Khashathra Vairya (kerajaan Tuhan), Spenta Aramaiti (kebaktian saleh), Haurvatat (keselamatan) dan Ahriman (Agramanyu) adalah tuhan gelap (spirit of evil) memancarkan berbagai sifat kejahatan dan keburukan. Peperangan antara kedua golongan dewa tersebut menimbulkan konsepsi tentang kejadian alam (kosmogini) dan eschatologi.

Salah satu aliran yang besar pengaruhanya adalah aliran Manes (Manichanism school) yang dikalangan theologi Islam dikenal dengan sebutan kaum zindik. Manes hidup sekitar pertengahan abad ke-3 SM. yang kemudian mengaku dirinya sebagai Nabi pembaharu agama Zoroaster. Didalam ajaran-ajarannya tampak pengaruh Budhisme dan Gnoticisme dengan bertitik tolak dari dualisme zoroaster. Yang terpenting dari ajarannya adalah pemberian arti kerohanian dari pergulatan antara terang dan gelap dalam ajaran zoroaster tersebut.

Dalam rangka pengertian kerohanian itulah pengikutnya diwajibkan untuk bertapa dan berlaku zuhud, tidak boleh kawin, berpuasa terus-menerus paling tidak 7 hari dalam sebulan, bersembahyang terus menerus dan sekurangnya 12 kali sujud kepada matahari terbit sebagai lambang dari dewa Ahura Mazda, tidak menyembelih binatang dan meninggalkan dunia ramai. Pertarungan antara yang baik (terang) dengan yang buruk (gelap) dalam diri seseorang mengharuskan semua ketentuan ini dilaksanakan dan akhirnya jiwa harus dapat mengalahkan keburukan (kegelapan).



C. Filsafat India

Anak benua India ditaklukkan oleh Jendral Muhammad Al-Qasim atas perintah Hajjaj bin Yusuf, panglima Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Bani Umayyah. Penduduk India sudah menganut agama Hindu dan Budha. Bangsa India juga sudah terpengaruh budaya Hellanisme ketika seelumnya pernah ditaklukkan oleh Alexander Agung.



Hinduisme

Menurut ajaran Hindu, konsepsi tentang diri (self) merupaka sesuatu yang menarik. Diri itu adalah sesuatu yang abadi, tidak dilahirkan dan tidak pernah mati, merupakan konsepsi yang jelas tampak dalam Weda dan Bhagawat Gita. Setiap diri (self) selalu identik dan bersifat tetap. Disamping diri, dimiliki macam ragam hal dan keadaan yang tidak tetap dan selalu berubah, dan ini bersumber dari pengalaman. Dalam hubungannya dengan jagad raya, ia bersumber dari yang tidak berubah, mutlak dan universal dalam bentuk kenyataan yang dijumpai dalam kekhususan yang mempunyai banyak ragam bentuk dan sifatnya yang selalu berbah dan saling bertentangan. Diantara diri dan dan pengalaman alamiah itu manusia meski mendirikan kehidupan. Dalam hal ini, masih banyak yang belum diketahuinya dan filsafat India mengangkat masalah ini dalam filsafat maya. Filsafat India menyatakan bahwa dalam memecahkan masalah maya, hendaknya jangan melalui kemampuan rasio, tapi menggunakan batin. Sebagaimana Plato dan Kant di dunia Barat, maka Nagarjuna dan Samsara dari India menyatakan bahwa pikiran (rasio) kita hanya bersangkut paut dengaan hal-hal yang relatif dan tidak berkaitan dengan hal yang mutlak.

Meskipun ada wujud yang mutlak itu tidak diketahui melalui ratio namun masih bias dirasakan dan kemudian dipecahkan melalui perasaan. Ada (wujud) dan diri (self) adalah kesatuan kenyataan dari yang paling rahasia dan paling mendalam dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali diri itu sendiri.

Inilah pokok-pokok pikiran wihdatul wujud dalam alam pikiran Advaita yang dianut oleh Gaudapada dan Samkara. Dari pokok pikiran itu berkembang lebih lanjut bahwa dunia adalah kesamaan yang telah menjadi perbedaan. Yang satu tidak terasing dari yang lainnya, sedang Tuhan adalah tempat yang paling dalam, pangkal kebersamaan semesta. Dunia adalah bentuk lahir daripadanya.

Kitab-kitab Upanisad, Veda, Baghawat Gita penuh dengan pikiran-pikiran Wahdatul Wujud, Inkarnasi dan Reinkarnasi roh dan sebagainya. Dari pikiran-pikiran itu menunjukkan bahwa alam semesta itu bukan dijadikan dari tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo) tetapi ia berasal dari sesuatu yang sudah ada hanya mengalami perubahan bentuk. Ia menggambarkan bahwa alam semesta ini tidak ubahnya seperti sebuah besi yang amat pijar membara dalam api yang begejolak mengeluarkan cahaya dan lentingan-lentingan bara. Dunia ini adalah sebiji lentingan bara dari besi pijar tersebut, maka alam semesta ini bukanlah dijadikan dari tidak ada menjadi ada tetapi merupakan limpahan daripadaNya. Pemikiran itu diungkapkan oleh filsuf Muslim yaitu Al-Biruni (440 H/1048 M) dalam alam pikiran Islam dalam bukunya Tahqiq ma lil hindi min Maqulah dan Al-Itsarul Baqiyah.

Disamping itu diterjemahkan juga Siddarta dari Brahmagupta, suatu risalah tentang Astronomi yang dilakukan oleh Fazari yang kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan Astronomi dalam Islam. Sejak Abu Ja’far Al-Mansyur berkuasa, telah dilakukan penerjemahan berbagai buku tentang medis India dan lain-lain bidang ilmu, terutama pada masa menteri Yahya Al-Barmaki.



Buddhisme

Filsafat Budhisme menitik beratkan ajarannya untuk selalu berperilaku baik, berpikiran dan berniat baik, melakukan meditasi, mengekang keinginan hawa nafsu agar jiwa manusia lepas dari samsara (keinginan-keinginan rendah) untuk mencapai nirwana yaitu suasana batin yang damai, lepas dari pengaruh semua keinginan-keinginan, yang disebut Moksha.

Sumber: Filsafat India – Heinrich Zimmer, http://ahmadfaruq.blogdetik.com, http://dalamdakwah.wordpress.com

Ilmu Kalam (Ushuluddin III)

B. Majusi / Zoroaster

Merupakan ajaran Zarathustra yang lahir 258 tahun sebelum Iskandar Agung atau sekitar abad ke-6 SM. Pokok ajarannya terkandung dalam kitab suci Zean Avesta (zean = penjelasan, avesta = hukum). Zarathustra mengajarkan adanya dewa-dewa yang terbagi dua bagian, yang tertinggi Ahura Mazda (Ormudz) adalah Tuhan Terang (Lord of Light) memancarkan Vaho Manah (pikiran baik), Asha Vahista (keadilan tertinggi), Khashathra Vairya (kerajaan Tuhan), Spenta Aramaiti (kebaktian saleh), Haurvatat (keselamatan) dan Ahriman (Agramanyu) adalah tuhan gelap (spirit of evil) memancarkan berbagai sifat kejahatan dan keburukan. Peperangan antara kedua golongan dewa tersebut menimbulkan konsepsi tentang kejadian alam (kosmogini) dan eschatologi.

Salah satu aliran yang besar pengaruhanya adalah aliran Manes (Manichanism school) yang dikalangan theologi Islam dikenal dengan sebutan kaum zindik. Manes hidup sekitar pertengahan abad ke-3 SM. yang kemudian mengaku dirinya sebagai Nabi pembaharu agama Zoroaster. Didalam ajaran-ajarannya tampak pengaruh Budhisme dan Gnoticisme dengan bertitik tolak dari dualisme zoroaster. Yang terpenting dari ajarannya adalah pemberian arti kerohanian dari pergulatan antara terang dan gelap dalam ajaran zoroaster tersebut.

Dalam rangka pengertian kerohanian itulah pengikutnya diwajibkan untuk bertapa dan berlaku zuhud, tidak boleh kawin, berpuasa terus-menerus paling tidak 7 hari dalam sebulan, bersembahyang terus menerus dan sekurangnya 12 kali sujud kepada matahari terbit sebagai lambang dari dewa Ahura Mazda, tidak menyembelih binatang dan meninggalkan dunia ramai. Pertarungan antara yang baik (terang) dengan yang buruk (gelap) dalam diri seseorang mengharuskan semua ketentuan ini dilaksanakan dan akhirnya jiwa harus dapat mengalahkan keburukan (kegelapan).



C. Filsafat India

Anak benua India ditaklukkan oleh Jendral Muhammad Al-Qasim atas perintah Hajjaj bin Yusuf, panglima Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Bani Umayyah. Penduduk India sudah menganut agama Hindu dan Budha. Bangsa India juga sudah terpengaruh budaya Hellanisme ketika seelumnya pernah ditaklukkan oleh Alexander Agung.



Hinduisme

Menurut ajaran Hindu, konsepsi tentang diri (self) merupaka sesuatu yang menarik. Diri itu adalah sesuatu yang abadi, tidak dilahirkan dan tidak pernah mati, merupakan konsepsi yang jelas tampak dalam Weda dan Bhagawat Gita. Setiap diri (self) selalu identik dan bersifat tetap. Disamping diri, dimiliki macam ragam hal dan keadaan yang tidak tetap dan selalu berubah, dan ini bersumber dari pengalaman. Dalam hubungannya dengan jagad raya, ia bersumber dari yang tidak berubah, mutlak dan universal dalam bentuk kenyataan yang dijumpai dalam kekhususan yang mempunyai banyak ragam bentuk dan sifatnya yang selalu berbah dan saling bertentangan. Diantara diri dan dan pengalaman alamiah itu manusia meski mendirikan kehidupan. Dalam hal ini, masih banyak yang belum diketahuinya dan filsafat India mengangkat masalah ini dalam filsafat maya. Filsafat India menyatakan bahwa dalam memecahkan masalah maya, hendaknya jangan melalui kemampuan rasio, tapi menggunakan batin. Sebagaimana Plato dan Kant di dunia Barat, maka Nagarjuna dan Samsara dari India menyatakan bahwa pikiran (rasio) kita hanya bersangkut paut dengaan hal-hal yang relatif dan tidak berkaitan dengan hal yang mutlak.

Meskipun ada wujud yang mutlak itu tidak diketahui melalui ratio namun masih bias dirasakan dan kemudian dipecahkan melalui perasaan. Ada (wujud) dan diri (self) adalah kesatuan kenyataan dari yang paling rahasia dan paling mendalam dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali diri itu sendiri.

Inilah pokok-pokok pikiran wihdatul wujud dalam alam pikiran Advaita yang dianut oleh Gaudapada dan Samkara. Dari pokok pikiran itu berkembang lebih lanjut bahwa dunia adalah kesamaan yang telah menjadi perbedaan. Yang satu tidak terasing dari yang lainnya, sedang Tuhan adalah tempat yang paling dalam, pangkal kebersamaan semesta. Dunia adalah bentuk lahir daripadanya.

Kitab-kitab Upanisad, Veda, Baghawat Gita penuh dengan pikiran-pikiran Wahdatul Wujud, Inkarnasi dan Reinkarnasi roh dan sebagainya. Dari pikiran-pikiran itu menunjukkan bahwa alam semesta itu bukan dijadikan dari tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo) tetapi ia berasal dari sesuatu yang sudah ada hanya mengalami perubahan bentuk. Ia menggambarkan bahwa alam semesta ini tidak ubahnya seperti sebuah besi yang amat pijar membara dalam api yang begejolak mengeluarkan cahaya dan lentingan-lentingan bara. Dunia ini adalah sebiji lentingan bara dari besi pijar tersebut, maka alam semesta ini bukanlah dijadikan dari tidak ada menjadi ada tetapi merupakan limpahan daripadaNya. Pemikiran itu diungkapkan oleh filsuf Muslim yaitu Al-Biruni (440 H/1048 M) dalam alam pikiran Islam dalam bukunya Tahqiq ma lil hindi min Maqulah dan Al-Itsarul Baqiyah.

Disamping itu diterjemahkan juga Siddarta dari Brahmagupta, suatu risalah tentang Astronomi yang dilakukan oleh Fazari yang kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan Astronomi dalam Islam. Sejak Abu Ja’far Al-Mansyur berkuasa, telah dilakukan penerjemahan berbagai buku tentang medis India dan lain-lain bidang ilmu, terutama pada masa menteri Yahya Al-Barmaki.



Buddhisme

Filsafat Budhisme menitik beratkan ajarannya untuk selalu berperilaku baik, berpikiran dan berniat baik, melakukan meditasi, mengekang keinginan hawa nafsu agar jiwa manusia lepas dari samsara (keinginan-keinginan rendah) untuk mencapai nirwana yaitu suasana batin yang damai, lepas dari pengaruh semua keinginan-keinginan, yang disebut Moksha.

Sumber: Filsafat India – Heinrich Zimmer, http://ahmadfaruq.blogdetik.com, http://dalamdakwah.wordpress.com

Wednesday, November 9, 2011

Ilmu Kalam (Ushuluddin II)

A. Filsafat Yunani

Ciri khas filsafat Yunani adalah pemikiran bebas yang tidak terikat oleh agama. Jiwa filsafat Yunani adalah mengamati, memikirkan dan merenungkan segala sesuatu berdasarkan rasio (akal).



Neo Platonisme

Plato adalah seorang filsuf Yunani Kuno yang utama, guru dari Aristoteles. Ajaran Plato banyak terpengaruh Sokrates yang berusaha menentukan hakikat keadilan-keadilan dan keutamaan-keutamaan lain. Menurut Plato hakikat itu memiliki realitas, terlepas dari segala perbuatan kongkrit. Idea keadilan, idea keberanian dan idea lain memang ada dan idea-idea itu tidak diciptakan oleh pikiran manusia. Idea itu sesuatu yang obyektif dan berdiri sendiri. Idea-idea itu etis dan matematis. Namun secara sempurna Plato tidak mampu menjelaskan apa hakikaty idea-idea itu. Ada yang tidak bisa dijawab tentang apa yang disebut idea-idea.

Di sisi lain, Plato menganggap jiwa sebagai pusat atau intisari kepribadian manusia. Terdapat kesamaan antara jiwa dengan idea-idea. Jiwa dan bukan tubuh yang mengenal idea-idea. Oleh karena jiwa sama dengan idea-idea, maka baik idea-idea maupun jiwa bersifat abadi dan tidak berubah. Bagi Plato jiwa itu tidak saja bersifat abadi dan tidak ikut mati ketika tubuh mati (immortal), tetapi jiwa sudah ada sebelum hidup di bumi ini. sebelum bersatu dengan tubuh, jiwa sudah mengalami suatu pra-eksistensi, di mana ia memandang idea-idea. Sewaktu manusia lahir ke bumi, pengetahuannya tentang idea-idea menjadi kabur, tetapi pengetahuan itu tersimpan dan pada saatnya jiwa dapat mengingatnya kembali..

Jiwa, bagi Plato,terbagi tiga sesuai fungsinya, yaitu “jiwa rasional” (to logistikon), “bagian keberanian” (to thymoeides), “bagian keinginan” (to epithymetikon).

Ajaran dan pemikiran Plato dibahas dan dihidupkan kembali oleh tokoh-tokoh Neo-Platonisme seperti Plotinus (204-270 M), Malchus ( 232-304 M), Proclus (412-485 M) dan lain-lain.

Faham ajaran Plotinus yang terpenting adalah membahas Trinitas yaitu : The one, spirit dan soul. Menurut Bertrand Russell, ketiga oknum itu sebagai satu kesatuan. The One (yang Esa) itu kadang disebut sebagai God (Tuhan) kadang disebut sebagai Good (Yang Maha Baik) yang sulit diberikan definisi, batasan dan predikat padanya, tetapi dinyatakan bahwa “Dia ada”.

Yang Esa adalah mutlak, spirit datang kemudian dan soul yang terakhir. Tuhan tidak bisa dikatakan sebagai segala-galanya karena Tuhan mengatasi segala-galanya. Yang Esa dapat hadir melalui segala sesuatu tanpa usaha untuk datang. Tuhan tidak berhajat kepada hasil ciptaan-Nya dan mengabaikan dunia.

Oknum yang kedua adalah Spirit (akal) yang merupakan gambaran dari Tuhan, dia diciptakan dari sebab Yang Esa dalam mencari diri-Nya, mempunyai penglihatan dan pengliahatan itulah yang disebut spirit. Dalam hal ini yang melihat dan yang dilihat adalah sama sebagaimana yang diajarkan oleh Plato. Diumpamakan dengan matahari maka pemberi sinar dan yang disinari adalah sama. Jadi spirit adalah sebagai sinar yang dipakai oleh Yang Esa untuk melihat diriNya.

Oknum ketiga adalah soul, menduduki peringkat terendah. Soul walaupun berada dibawah spirit tetapi ia perencana dari segala sesuatu yang hidup, melimpahkan matahari, planet-planet dan seluruh alam semesta. Soul mempunyai dua aspek, yang pertama berupa roh batin yang menujuku kepada spirit dan yang kedua roh yang menuju hal-hal yang diluar, dalam mana turun berjenjang sampai kepada alam inderawi sebagai gambaran dari padanya.

Plotinus berkeyakinan bahwa benda-benda langit adalah wujud-wujud percikan (emanasi) Tuhan. Dalam hal bagaimana soul dapat ber emanasi menjadi alam semesta tidak lain adalah karena rindu (eros) kepada spirit.

Soul mempunyai keinginan yang kuat terhadap susunan yang indah yang pernah ia lihat dalam intelektual spirit (akal intelek). Menurut Plotinus tubuh adalah tidak kekal, sedangkan roh itulah yang kekal dan ia bukan merupakan bentuk tetapi esensi yang abadi.

Bagi roh yang didatangi Tuhan menjadikan roh itu bercahaya, yang dengan cahayanya itu pula dapat sampai menuju kepada Tuhan. Bagaimana caranya untuk bisa terjadi demikian ? Plotinus menyatakan “supaya kita putuskan hubungan dengan segala sesuatu kecuali kepada-Nya”. Dengan berbagai usaha agar dapat roh keluar dari badan terutama melalui “ekstasi”, akhirnya Plotinus mengalami keberadaan roh diluar tubuh sebagaimana dituturkan dalam bukunya “Enneads”.

The One disamakan dengan Allah, Spirit disamakan dengan Yesus yang mengandung segala form (bentuk-bentuk) dan kemudian soul yang merupakan hubungan antara spirit dan alam semesta. Ketiga unsur itu masing-masing suci dan disebut “Trinitas”.

Faham Neo-Platonis itu mewarnai seluruh karya Theologia Aristoteles, karangan yang terdiri kutipan-kutipan yang disandarkan kepada Aristoteles, tanpa diketahui siapa pengarang yang sebenarnya dan sampai ketangan kaum Muslimin pada abad ke-9 Masehi.

Gnosticisme

Berasal dari kata yunani Gnosis yang artinya “pengetahuan rahasia” yang dalam bahasa Arab disebut ghunusiyah yang bermakna al-ma’rifah al-ilahiyah atau ilmul asrar. Lahirnya gnosticisme tidak dapat dipastikan waktunya, tapi Philo Judaeus (30-5- M) telah mengembangkannya dengan agama Yahudi. Dapat dikatakan kelahiran gnosticisme sebagai gerakan filsafat ketika akhir zaman Yunani kuno dan permulaan zaman Masehi.

Menurut faham gnosticisme, Tuhan berada pada tingkat tertinggi, wujud terpisah (transedent) dengan alam materi. Adanya wujud materi bersumber dari Tuhan. Dari Tuhan pertama kali terbit aeon positip dan aeon negatip. Dari kedua aeon yang berlawanan itu lahirlah aeon-aeon lainnya hingga sampai kepada 30 aeon-aeon (pleroma) yang selanjutnya menjadi dasar alam (spirit) dan melahirkan sophia (hikmah). Dari perkembangan yang berjenjang turun akhirnya sampai kepada alam materi.

Dari aeon-aeon pertama dan seterusnya, ketika terpisah dengan Tuhan, timbul rindu dan ingin kembali kepada Tuhan. Aeon-aeon itu dapat kembali kepada Tuhan kalau suci dan bersih dari segala bentuk noda dan dosa. Dari aeon-aeon positip yang bersih dan suci itu melahirkan alam spirit dan aeon-aeon negatip yang kotor dan penuh dosa itu tidak dapat kembali kepada Tuhan dan daripadanya timbul alam materi.

Para pengikut gnosticisme memiliki ajaran atau doktrin bersifat rahasia. Diantaranya ajaran-ajarannya antara lain :

a. Tuhan adalah akal (God is intelect).

b. Hubungan dengan Tuhan cukup dengan akal melalui ma’rifah ilahiyah tanpa perlu dengan ritual ibadah.

c. Keselamatan dan kebajikan lebih baik diperoleh dengan ma’rifah ilahiyah daripada melalui agama itu sendiri.

d. Ma’rifah ilahiyah itu didapat oleh orang-orang yang tertentu saja.

e. Manusia dapat bersatu dengan Tuhan.

Perkembangan dan intergrasi gnoticisme memuncak dalam pemikiran filsuf Kristen yang dikenal dengan Marcion (144 M). Menurut pandangan mereka, diri Yesus sendiri dilambangkan sebagai pusat gnosis, diri yang mempersatukan antara yang mengetahui dan yang diketahui, antara material dan spiritual dan hanya Yesus sendiri saja yang bersatu dengan Tuhan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya gnosis dapat pula dilimpahkan Tuhan kepada orang-orang tertentu disetiap waktu dan jaman.

Sumber: Sejarah Filsafat Yunani – K. Bertens,http://ahmadfaruq.blogdetik.com, http://dalamdakwah.wordpress.com

Tuesday, November 8, 2011

Mengenal Ilmu Kalam (Ushuluddin,Ilmu tentang Pokok/dasar i'tikad akidah Agama)

ILMU KALAM (USHULUDIN - ilmu tentang pokok/dasar i’tikad-akidah agama)

I. Prolog

Ibarat sebuah pohon, i’tikad (keyakinan) yang mendalam merupakan akar pondasi yang menjadi dasar, sedangkan akidah merupakan satu batang penopang yang tegak tidak boleh menyimpang. Salah dalam I’tikad-akidah menyebabkan seseorang tersesat dan keluar dari Islam menjadi kafir.

Sedangkan Fiqih merupakan dahan, ranting dan cabangnya. Dalam masalah Fiqih-amaliah yang ijtihadi sering terjadi perbedaan pendapat (khilafiah) diantara para imam mujtahid dan para ulama. Salah dalam ijtihad fiqih amaliah, tidak menyebabkan seorang muslim menjadi kafir, melainkan yang benar dapat dua pahala yang salah dapat satu pahala.

Hadits Nabi yang menginformasikan akan adanya firqoh-firqoh Islam yang sesat dalam masalah Akidah (bukan masalah fiqih-amaliah Khilafiah) :

“Umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, diantara golongan-golongan itu yang selamat hanya satu golongan saja, sedangkan lainnya adalah binasa. Para sahabat bertanya : ‘Siapakah golongan yang selamat itu ?’ Nabi menjawab : ‘golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah’, para sahabat bertanya lagi, ‘Apakah golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu ?’ Nabi menjawab : ‘Yaitu yang mengikuti apa-apa yang sekarang ini dipraktekkan (manhaj) saya dan para sahabatku’ “

“Maka bahwasanya siapa yang hidup (lama) diantara kamu niscaya akan melihat perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi hidayah.” (HR. Abu Dawud).

“Ada dua firqah dari umatku yang pada hakikatnya mereka tidak ada sangkut pautnya dengan Islam, yaitu kaum Murji’ah dan kaum Qadariyah.” (HR Tumrmudzi).

“Bagi tiap-tiap umat ada Majusinya. Dan Majusi umatku ini ialah mereka yang mengatakan bahwa tidak ada takdir. Barangsiapa diantara mereka itu mati, maka janganlah kalian menshalati jenazahnya. Dan barangsiapa diantara mereka itu sakit, maka janganlah kalian menjenguknya. Mereka adalah golongan Dajjal dan memang ada hak bagi Allah untuk mengkaitkan mereka itu dengan Dajjal itu.” (HR Abu Dawud).

“Akan keluar suatu kaum di akhir jaman, orang-orang muda berfaham jelek. Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyah” (ayat-ayat Allah). Iman mereka tidak melampaui kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama bagai meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa dengan kamu, lawanlah mereka.” (HR Bukhari).

Yang dimaksud oleh Hadits ini adalah firqoh Khawarij.



II. Pengertian Ilmu Ushuludin

Ilmu Ushuludin adalah ilmu yang membahas pokok-pokok (dasar) agama, yaitu akidah, tauhid dan I’tikad (keyakinan) tentang rukun Iman yang enam : 1) beriman kepada Allah, 2) Al-Qur’an dan kitab-kitab suci samawi, 3) Nabi Muhammad dan para Rasul, 4) para Malaikat, 5) perkara ghaib (alam kubur, alam akhirat, mashar, mizan, sirot, surga-neraka), 6 ) Takdir baik dan buruk.

Sebutan lain bagi Ilmu Ushuludin adalah ilmu Theologi (ketuhanan), karena membahas tentang ke tauhid-an (ke-Esa an) Allah, sifat dan asma’ (nama) Allah.

Sebutan lain yang lebih populer adalah Ilmu Kalam, karena bahasan yang sedang ramai dibahas pada saat lahirnya ilmu kalam adalah masalah kalam (firman Allah) disamping itu pembahasan ilmu ini menggunakan metode ilmu mantiq (logika) sedangkan kata mantiq secara etimologi bahasa sinonim dengan kalam.



III. Bahasan Ilmu Kalam

Pokok-pokok bahasan dalam Ilmu Kalam adalah :

1. Masalah ketuhanan :

a. Wujud Allah

b. Sifat-sifat Allah

c. Perbuatan Allah

2. Al-Qur’an

a. Apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan

3. Akhirat

a. Apakah kebangkitan itu dengan jasad apa ruh saja.

b. Apakah dapat melihat Allah di akhirat nanti.

4. Iman

5. Dosa besar

6. Takdir dan keadilan Allah

7. Khilafah dan imamah

8. Filsafat

9. Ayat-ayat mutasyabih

a. Tentang tajsim

b. Tentang tasybih

c. Tentang dimana Allah



IV. Theologi yang sudah ada sebelum penaklukan Islam

Pada abad ke-3 SM (sebelum Masehi, lahirnya Nabi Isa) Alexander Agung dari Macedonia (Yunani) mengalahkan Darius (Raja Persia kuno) pada pertempuran di Arbela (Iraq). Alexander datang dengan tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, tetapi sebaliknya ia berusaha untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Ia sendiri mulai berpakaian secara Persia dan orang-orang Persia banyak yang diangkatnya menjadi pengiring-pengiringnya. Ia kawin dengan Statira, anak Darius dan pada waktu itu juga 24 dari jenderal-jenderalnya dan 10.000 prajurit kawin atas anjurannya dengan wanita-wanita Persia di Susa.

Alexander Agung juga menaklukkan Pharao kerajaan Mesir kuno dan membangun kota pelabuhan Alexandria (Iskandariah) sebagai ibukota Propinsinya di Mesir.

Alexander Agung dengan tentaranya dari bangsa Persia juga berhasil menaklukkan anak benua India. Kaum penakluk inilah yang dikenal sebagai ras Arya yang berkasta paling tinggi (brahmana) dalam agama Hindu di India.

Pada setiap daerah yang ditaklukkan Alexander Agung tidak serta merta menghancurkan budaya asli bangsa yang ditaklukkan dan memaksakan budaya dan alam pikiran Yunani kepada penduduk taklukan. Alexander Agung lebih berusaha mencampur unsur budaya Yunani dengan unsur asli bangsa yang ditaklukkan. Pencampuran budaya Yunani dengan budaya lokal itu melahirkan budaya baru yang dikenal sebagai Hellanisme. Inti Hellanisme adalah filsafat Yunani Kuno (Ajaran Plato, Aristoteles) yang disesuaikan dengan filsafat lokal (Persia, Mesir, India).

Ketika muncul agama Nasrani, pada abad pertama Masehi mulanya agama Nasrani belum begitu berkembang dan mendapat banyak pengikut. Ketika Kaisar Konstantin dari Romawi Timur memeluk Agama Nasrani pada abad ke-3 Masehi barulah agama Nasrani berkembang dengan pesat ke seluruh negeri dalam wilayah kekuasaan Imperium Romawi termasuk kota-kota pusat study hellanisme seperti Iskandariah (Mesir), Antioch (Syria), Jundisapur (Iraq). Maka filsafat Yunani pun mempengaruhi faham theologi agama Kristen yang mengkristal menjadi faham Trinitas yang merupakan buah pikiran Paulus, yang sebenarnya bukan salah seorang Hawari (murid setia pengikut Yesus).

Pada masa khalifah Abu Bakar, Panglima Khalid bin Walid berhasil menaklukkan Irak. Pada masa Khalifah Umar, Panglima Abu Ubaidah berhasil menaklukkan Syria, Panglima Saad bin Abi Waqash berhasil menaklukkan Persia, Panglima Amr bin Ash berhasil menaklukkan Mesir. Pada masa Khalifah Usman bin Affan, Panglima Utbah bin Nafi’ berhasil menaklukkan Maghribi (Maroko, Aljazair, Tunisia). Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Dinasti Umayyah, Panglima Muhammad Al-Qasim berhasil menaklukkan Afghanistan, Pakistan dan sebagian anak benua India.

Pada negeri-negeri taklukkan itu penduduknya telah mempunyai peradaban dan kebudayaan yang cukup maju peninggalan peradaban Hellanisme Alexander Agung. Mau tidak mau kaum Muslimin terlibat interaksi langsung dengan peradaban-peradaban tersebut, maka sebagian peradaban dan pemikiran Yunani, Yahudi, Nasrani, Persia, India tersebut sedikit banyak mempengaruhi pola pemikiran dan akidah kaum muslimin. Apalagi sebagian besar penduduk negeri-negeri taklukan tersebut kemudian menjadi pemeluk agama Islam.

Sumber: http://ahmadfaruq.blogdetik.com, http://dalamdakwah.wordpress.com

Monday, January 10, 2011

Is ‘God exists’ a ‘hinge proposition’ of religious belief?

Unlike many of our other beliefs which lack apriori support, however, it is often alleged that belief in the existence of God could never be epistemically supported in an empirical manner either. Suppose that one argued, àla G. E. Moore,3 that one’s belief in the existence of the external world is warranted on the grounds that one possesses suffi-cient empirical evidence to warrant one’s belief in an everyday proposition (such as “I have two hands”), which, if true, would entail the existence of the external world. – whether we believe in God or not – the latter merely attacks a significant portion of the beliefs of a person who has the requisite religious beliefs.

Take the argument proffered above concerning our belief in the external world. We are thus still lumbered with the original problem of how one can have a warranted belief in an everyday proposition when this warrant presupposes that one has a warranted belief in a hinge proposition, a proposition which is held to be unwarrantable. One does, however, find traces of the hinge proposition thesis in two sorts of anti-sceptical strategies which are adduced in defence of religious belief. One of the most famous examples of the first sort of anti-sceptical tactic can be found in John Henry Newman’s lectures on religious belief,8 texts of which were, interestingly, a major influence on Wittgenstein’s On Certainty.9 In essence, Newman’s approach to the problem of scepticism about religious belief was to argue that local scepticism about religious belief is unfounded because one has equal grounds to be sceptical about all belief. If is thus irrelevant to make a specific charge against religious belief on the basis that it is posited upon certain pivotal ungrounded beliefs (such as in the exist-ence of God), when there is nothing unique about religious belief in this respect. Rather, we should recognise that all belief is based upon ungrounded presuppositions, and therefore discharge the pervasive thought that there is any epistemic difference in kind between, say, scientific belief and religious belief. Whilst noting that the traditional sceptical argument against religious belief will fixate on this ‘presuppositional’ component of Augustine’s reasoning, Wolterstorff makes no explicit counter-response. He does not, for instance, argue that Augustine is indeed warranted in believing in God, or claim that his belief in God’s agency can be warranted in the absence of a warranted belief in God. 3. Blocking the argument

The contemporary debate about the epistemic status of religious belief thus owes a great deal to a certain pessimism about the prospects of responding to a local scepticism applied to those beliefs. There will thus be nothing to prevent, in principle, the possession of knowledge or warranted belief in the non-framework propositions which presuppose that belief in these hinge propositions is epistemically sanctioned. On the other, if one does not, in fact, have an appropriately sensitive belief in these framework propositions, then the doxastic architecture which presupposes a sufficient epistemic status for these beliefs will lack the requisite foundation. If, on the other hand, Augustine lacks a sensitive belief in God’s existence, then it will follow that, just as we would expect, his religious beliefs are indeed without warrant.

In this respect, then, religious belief is no different to any other sort of belief where one has to presuppose epistemic support for one’s conviction in certain pivotal propositions without being in a position to reflectively determine that this support obtains. There is indeed nothing epistemologically unique about religious belief. The sceptic contraposes on this principle when she argues that it follows from our lack of warrant for our belief in the external world and our knowledge that many everyday propositions entail the existence of the external world, that we must lack a warrant for our belief in these everyday propositions as well. Of related interest, however, is Norman Malcolm’s defence of the rationality of religious belief in “The Groundlessness of Belief”, Thought and Knowl-


In “Do Religious Beliefs Need Grounds?”, Nederlands Theologisch Tijdschrift 40 (1986): 227–237, Terence Penelhum offers an excellent discussion of the manner in which some theists (he focuses on Pascal and Kierkegaard) have attempted to defend the rationality of religious belief by adducing radical sceptical arguments. On the other, there are those, such as Alston, “Is Religious Belief Rational?” In his earlier work – such as “Is Belief in God Properly Basic?”, Nous 15 (1981): 41–51; “Rationality and Religious Belief”, Contemporary Philosophy of Religion, eds. Steven M. Cahn & David Shatz (Oxford: Oxford University Press, 1982), pp. 255–277; and ‘Reason and Belief in God’, Faith and Rationality: Reason and Belief in God, eds. A. Plantinga & N. Wolterstorff (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1983), pp. 127–146 – he is largely content merely to argue that there is nothing inherent to the foundationalist model that would exclude the possibility that belief in god could be epistemologically ‘basic’.

Thursday, January 6, 2011

Idealism and Philosophy (and Education on Both)

Before we begin it is important to understand the basic definitions of Idealism and Philosophy. Education in these two areas is very rare in modern society, although we will teach children Social Studies in grade 2, the basic questions of Who am I and Why am I here are left until much later (often university). When you mention the idea of philosophy you are usually met with bored expressions and a complete lack of interest. Why? Because these questions are very dangerous to the society we have built and live in.

Idealism is defined as the view that the existence of objects depends wholly or in part on the minds of those perceiving them. This definition is not complete by any means, in fact those who truly explore Idealistic concepts often come to the point where physical reality is nothing more than symbolism for the workings of the mind. This might sound strange and a little far-fetched but that is only because we are used to one particular view of the world, to explore another view would require a great deal of courage and the acceptance that You are not simply an accumulation of your beliefs.

Philosophy is defined as the rational investigation of questions about existence and knowledge and ethics. Nothing about the realm of Philosophy states that it must lead you to Idealism yet, for those who explore philosophy deeply enough, it often does. Philosophy was once looked upon as one of our species highest callings. Socrates, Plato, and other familiar names are familiar for exactly this reason; they were respected, admired, and seen as brilliant to those willing to listen to their words. Sad to say, society was very different back then.

Unfortunately it is impossible to explore all of the concepts and ideas involved in Philosophy in just one short article, but that doesn't mean you cannot go looking for yourself. It is important to remember though that not every "would-be philosopher" is worth listening to. An easy way to discern who is and who is not thinking clearly about existence and knowledge is to see how much they boost their own self-importance.

Look for the humble, serious philosophers such as Jiddu Krishnamurti (who rejected the offer to be named Messiah in the early 1900's) and Alan Watts. Find some of their videos, their books, and a website focused on discussing the concepts and ideas that are the root of their many lectures and books. It is important to get familiar with Idealism and Philosophy, and education in these fields will reveal why it is so important. There is a whole other multi-layered facet to life that needs to be explored in our modern society; our growth as a human being, a species and a culture depends on it.

Radicals For Capitalism - A History of Libertarianism

A fascinating look at the history of the uniquely American political philosophy of Libertarianism, Radicals for Capitalism is a richly rewarding book on the beginnings of the Libertarian movement and some of its founding members and supporters. Brian Doherty does an excellent job in writing a compelling history of the Libertarian movement.

For anyone with an interest in small government politics this book is not only informative but entertaining. While most people captivated by the Libertarian movement have only a cursory knowledge of its beginnings, reading this book will flesh out your knowledge in an engaging and informative way. Ayn Rand? Everyone has heard of her, but how about Isabel Paterson and Rose Wilder Lane? All three women can be said to have lain the roots for the libertarian movement of today.

All three published important works in 1943, pre-dating Hayeks Road to Serfdom and other seminal Libertarian works. Rands The Fountainhead, Lanes The Discovery of Freedom and Patersons The God of the Machine were all put out in 1943 birthing many important ideas of the Libertarian movement. Explaining Americas exceptionalism, defending the greatness of the founding documents and espousing on the importance of individual liberties these women are of great importance to anyone interested liberty and freedom. While Paterson and Lanes books are difficult to find, they can be located with a little digging, Laissez- Faire books would be a good place to start.

Ayn Rands books are available just about everywhere. Covering the well known like F.A. Hayek and the less known but influential (within the movement) like Murray Rothbrand this book has all the bases covered. The chapter "Goldwater, The Objectivist Crack-up, and Hippies of the Right" had some laugh out loud moments. Covering the Austrian School of Economics and the Chicago School this book explains sometimes mundane and complex subjects in an interesting and understandable manner. Milton Freidman is well covered and as one of the most popular Libertarians besides Ayn Rand.

The Evolution Revolution: The Importance of Self-Observation

In the 1970's Werner Erhard's seminars were intended to bring individuals from self-awareness to Self-Awareness: eliminating the identification with ego in daily life. For me, there was one concept that made a deep impression, and one exercise that I have used successfully on both self and others.

The concept states that the primary function of what we call the 'mind' is to perpetuate its own existence.

Believing itself to be real and not a mere shadow of Reality, the mind fears its annihilation will mean death. It cannot understand that the dissolution of the unreal will reveal what is Real.

Thus, spiritual practice (without the self-observation that facilitates the dissolution of the false identity) only serves to intensify this phenomenon, as the mind, believing it 'knows' something, now shows up as spiritual ego -- a much more insidious creature. One has convinced oneself that one is now a 'spiritual' being -- and while there might be the intellectual understanding of something greater, and the ability to talk the talk, the walk is often lacking, as the false self-identification is still running the show.

The exercise -- based on the principle 'what one resists persists' -- is a simple one utilized to eliminate a headache. With the eyes closed, one focuses attention on the headache, (perceiving location, size and color), which then dissolves in the Light of that unwavering attention. (While I've found this exercise to work in most instances some people are exceptionally resistant and prefer to hold on to their resistance and their pain.)

That act, of looking at the pain in one's head unflinchingly, is similar to the exercise of self-observation. By the diligent practice of observing one's thoughts, speaking and behavior, one begins the process of separating oneself from the misguided identification with the ego.

As this separation begins to occur, a space is created that allows the Self to arise; bringing the Awareness that is its essential Nature. This Awareness, the presence of Consciousness, is expanding itself on the planet via the Evolution Revolution. What is most remarkable is that it is happening in ordinary people -- those without great investment in self -- the so-called meek.

Accompanying the presence of Consciousness are Love and Compassion, and a sensitivity to one's environment. One notices both the flock of birds wheeling in the sky, and the person in one's vicinity who might need a helping hand or a kind word. One recognizes one's own Self everywhere, and experiences the Oneness that is the Truth of existence.

As one Master says: True spiritual life is that which teaches Unity or Oneness, and makes us selfless and full of Love.