Sunday, November 29, 2009

Apa Yang Salah Dengan Sholat Berbahasa Indonesia?

Oleh: M.Faisol Fatawi


Menarik sekali membaca tulisan Hafidz J.M. yang berjudul "Salat Berbahasa Indonesia dalam Perspektif Syari'at Islam", yang dimuat dalam koran ini beberapa hari lalu (12-13 Mei 2005). Dalam tulisan itu saudara Hafidz telah menyatakan bahwa shalat berbahasa Indonesia --sebagaimana yang dipraktikkan oleh KH.M.Yusman Roy-- adalah tidak sah, bahkan tidak dibenarkan dan bertentangan dengan syari'at Islam.
Ada beberapa catatan untuk tulisan saudara Hafidz. Pertama, bahwa memang shalat merupakan jenis ibadah mahdlah. Ibadah ini wajib dilakukan oleh siapapun yang memeluk Islam. Bahkan kita semua memaklumi kalau Rasulullah pernah menyatakan "lakukanlah shalat sebagaimana kalian melihat (shalat)-ku". Namun demikian shalat yang bagaimanakah? Kaifiyah gerakan dan bacaannya seperti apa?
Jika kita menelisik literatur-literatur fiqh klasik, kita akan mendapatkan berbagai perbedaan mengenai kaifiyah gerakan dan bacaan shalat. Dengan kata lain, tidak ada kesepakatan bulat di kalangan fuqaha' mengenai kaifiyah shalat. Dalam masalah takbir misalnya, Ibn Rusyd dalam bukunya Bidayah al-mujtahid fi Nihayah al-Muqtashid telah merangkum beberapa pendapat. Di antaranya, bahwa takbir adalah wajib dalam setiap gerak shalat; takbir tidak wajib dalam seluruh gerakan shalat; dan yang wajib hanya takbiratul ihram. Tidak hanya itu. Perselisihan pendapat pun terjadi dalam masalah bacaan takbir yang baku: apakah Allahu Akbar saja atau bisa diganti dengan lafadz yang senada?, masalah basmalah dalam membaca surat al-Fatihah, masalah pengucapan salam… dst.
Masih dalam kerangka perselisihan kaifiyah shalat, bahwa ternyata di kalangan ulama juga terjadi perselisihan pendapat mengenai masalah membaca al-Fatihah: apakah harus dibaca seperti apa adanya (yakni sebagaimana bacaan dalam al-Qur'an yang menggunakan bahasa Arab) atau bacaan al-Fatihah itu boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Secara jelas, Abu Hanifah adalah salah seorang fuqaha' yang membolehkan bacaan al-Fatihah dengan bahasa terjemahannya, yaitu menggunakan bahasa Persi. Sementara seperti Imam Syafi'i dan yang lain mewajibkan bacaan al-Fatihah seperti apa adanya.
Fakta perselisihan pendapat dalam hal kaifiyah shalat tersebut di atas, semakin menggelitik pikiran kita untuk mempertanyakan kembali kesimpulan bahwa shalat berbahasa Indonesia tidak ada dalam syari'at Islam sehingga tidak dapat dibenarkan. Pendapat Gus Roy tidak jauh berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah membolehkan membaca al-Fatihah dalam shalat dengan menggunakan bahasa persi, sementara Gus Roy membacanya dengan bahasa Indonesia. Sampai sini kita pun jadi bertanya, apakah yang dimaksud oleh saudara Hafidz mengenai syari'at Islam? Lalu dari sekian banyak perselisihan pendapat, manakah kaifiyah (tuntunan) shalat yang sesuai dengan syari'at Islam?
Di sini, ada kerancuan mengenai maksud syari'at dengan fiqh (hasil ijtihad para ulama). Kewajiban melaksanakan shalat adalah syari'at. Yakni, sebuah jenis amalan wajib yang harus dipenuhi setiap pemeluk Islam. Tetapi, mengenai kaifiyah --seperti bahasa apakah yang harus digunakan untuk melafadzkan al-Fatihah (termasuk juga seluruh bacaan) dalam shalat-- merupakan masalah fiqhiyah yang masih bisa diperdebatkan sebagaimana yang terjadi di kalangan fuqaha' terdahulu. Fiqh bukanlah syari'at dan syari'at bukanlah fiqh.
Dengan demikian, pendapat yang dilontarkan Gus Roy mengenai shalat berbahasa Indonesia tidak bisa dinilai telah keluar dari syari'at Islam. Posisi pendapat Gus Roy berada dalam masalah fiqhiyah--padahal fiqh itu sendiri merupakan sekumpulan pendapat ulama mengenai suatu masalah dengan tetap mengacu pada dalil-dalil tertentu. Fiqh berisi tentang masalah furu'iyah dan bukan ushuliyah, dan karena itu kita tidak akan pernah menemukan kemufakatan seratus persen. Mengklaim pendapat bahwa shalat berbahasa Indonesia termasuk bukan syari'at Islam sama dengan mengingkari kerahmatan akan adanya perbedaan pendapat. Bahkan--dengan meminjam istilah Ali Harb--telah melakukan imprialisasi pemaknaan (imbriyaliyah al-ma'na).
Kedua, Hafidz dalam menilai pendapat Gus Roy terjebak dengan--apa yang disebut oleh Nasr Hamid Abu Zaid--arabisme. Arabisme yang dimaksud adalah pendapat Hafidz yang mengangap bahwa hanya melalui bahasa Arab-lah shalat itu dilaksanakan dan dianggap sah. Ini didasarkan pada ayat al-Qur'an yang berbunyi "Sesungguhya Kami menurunkan al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kalian memahami" (QS. az-Zukhruf: 3).
Sejatinya, ayat tersebut dipahami dalam konteks sejarah. Artinya, bahwa Nabi adalah keturunan dan berdomisili di tengah-tengah masyarakat jazirah Arab yang menjadikan bahasa Arab sebagai alat komunikasi dalam kesehariaan. Oleh karena mereka menggunakan bahasa Arab, maka sangat wajar jika Nabi dalam menyampaikan dakwah ke jalan Allah menggunakan bahasa Arab dan tidak bahasa orang-orang ajam. Ada hubungan timbal balik dalam pengertian QS az-Zukhruf tersebut. Andai saja dakwah Nabi tidak menggunakan bahasa Arab, maka dapat dipastikan akan mengalami hambatan yang sangat luar biasa, yaitu pesan ilahi tidak akan sampai kepada masyarakat setempat yang menjadi sasaran dakwah Islam pada saat itu. Dalam ayat lain dinyatakan "Dan kami tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan menggunakan bahasa kaumnya untuk menjelaskan kepada mereka" (QS Ibrahim: 4).
Jelaslah, bahwa penggunaan bahasa Arab dalam konteks penyampaian pesan ilahi tidak lain merupakan alat untuk mempermudah komunikasi. Pesan ilahi adalah esensi, sementara bahasa Arab merupakan medium komunikasi: padahal bahasa adalah sistem ujaran dan tanda yang terkait dengan pranata masyarakat penggunanya. Pesan ilahi bersifat universal, artinya dapat dipahami dang dijangkau dengan berbagai bahasa manusia. Oleh karena itu, jika al-Qur'an yang berisi pesan ilahi dipahami dan diterjemahkan dengan berbagai ragam bahasa manusia di luar bahasa Arab, maka hasilnya tetap pesan ilahi. Yang terpenting bukan medium bahasa yang dipakai, tetapi esensi pesan itu sendiri. Menganggap terjemahan al-Qur'an sebagai sesuatu yang sekunder dan tidak merupakan al-Qur'an itu sendiri berarti telah membatasi eksistensi Tuhan. Allah tidak hanya milik orang Arab, tetapi juga milik seluruh umat manusia. Tidak tersekat oleh batas wilayah geografis dan waktu.
Begitulah saudara Hafidz telah merancukan antara agama dengan pemikiran keagamaan, antara syari'ah dengan fiqh, dan ia juga telah menafikan dimensi historis dalam melihat kasus shalat berbahasa Indonesia yang difatwakan dan dilakukan oleh KH.M.Yusman Roy. Semestinya, kita mendudukkan masalah shalat berbahasa Indonesia itu pada tempatnya, yaitu sebagai persoalan fiqhiyah-furu'iyah. Syari'ah itu tidak sekedar sistem ritual dan lafadz, tetapi--dengan meminjam pengertian Said al-Asymawi--semangat universal untuk mengembalikan dan mengangkat manusia kepada derajat kemanusiaannya.


Tulisan ini pernah dimuat di Jawa Pos Radar Malang

No comments: