Friday, November 20, 2009

Memaknai Ulang Jihad

Oleh: M. Faisol Fatawi

Sejak semula, Islam diturunkan ke muka bumi dengan membawa nilai kemanusiaan; keadilan (al-adalah), persaudaraan (al-ukhuwah), solidaritas sosial (al-tadlamun al-ijtima'i), dan persamaan (al-musawah). Nilai-nilai ini merupakan cahaya yang dapat menerangi dan membimbing umat manusia (baca: masyarakat Arab-Jahiliah) pada saat itu menuju jalan kehidupan yang humanis-berperadaban.
Dalam konteks dakwah Islam, jihad fi sabilillah mempunyai signifikansi makna demi idealisme tertinggi, yang termanifestasi dalam dua tujuan. Pertama, mengganti sistem tatanan masyarakat--baik ekonomi, sosial, budaya dan politik--yang bobrok, penuh permusuhan, perselisihan, kecurangan …dst; mendekonstruksi dasar-dasar dan kerangka tatanan sosial yang sarat dengan kelaliman dan keburukan, dengan sistem yang "soleh".
Tujuan pertama itu dapat dilakukan secara sempurna dengan menjatuhkan rezim yang bobrok dan menggantinya dengan rezim baru yang berlandaskan keadilan, kepatuhan pada sistem dan hukum perundang-undangan yang dalam Islam dikenal dengan syara'. Dalam rezim ini, rakyat memiliki kesamaan hak dan perlakuan. Tidak ada diskriminasi antara yang kaya dan miskin, elit dan jelata, Arab dan non-Arab, berkulit hitam dan putih. Tentara Islam juga dibentuk bukan untuk memerangi pasukan musuh yang notabene kafir, tetapi mereka yang tetap setia pada rezim lama dan melindungi sisa-sisa kekuatan yang mencoba menghalang-halangi pelaksanaan sistem keadilan yang dibawa oleh Islam.
Kedua, penyebaran dakwah dan akidah Islam. Islam tidak bisa dipaksakan pada individu-individu, tetapi setiap individu memiliki hak penuh untuk menolaknya dan menikmati segala bentuk kebebasan beragama mereka dengan kompensasi pembayaran pajak (jizyah). Penyebaran dilakukan bukan untuk menggiring manusia secara paksa mengimani Islam. Tetapi, dalam dimensi ini jihap bertujuan untuk mengenalkan Islam dan memberitahu umat manusia bahwa di sana ada agama dan sistem yang disebut dengan Islam, yang memiliki kaidah-kaidah khusus.
Jizyah harus dibayar sebagai satu-satunya alternatif untuk menghindari rekayasa birokratik yang mengharuskan orang-orang (non-muslim) untuk ikut terlibat dalam aktifitas birokrasi pemerintahan Islam yang tidak mereka imani. Lebih dari itu, ia merupakan jalan (cara) untuk tetap mempertahankan akidah, dan alternatif untuk menghindari pemaksaan sistemik yang tidak bisa dihindari lagi sebagai konsekwensi logis atas kompleksitas sosial. Jizyah juga bukanlah harga yang harus dibayar demi sebuah kebebasan, tetapi lebih merupakan harga yang harus dibayar demi rasa keadilan dan perlindungan.
Dalam kerangka dua tujuan itu, maka ekspansi yang pernah dilakukan Islam dapat dipandang sebagai kehidupan keadilan dan era baru bagi bangsa-bangsa dan rakyat yang tertindas. Ia seperti suntikan yang kuat berisi nilai-nilai, moralitas, dan hormon-hormon yang mengalir ke dalam darah rakyat, sehingga mereka bisa hidup kembali setelah sekian lama berada dalam cengkraman sebuah kekuasaan yang despotik. Ekspansi seperti ini tidak lain merupakan ekspansi yang humanis dan populis (al-fath al-insani al-sya'bi).
Jihad pun (dalam pengertian qital) dalam Islam hanya boleh dilakukan sebagai jalan terakhir manakala pihak kaum muslimin terpaksa. Artinya, ketika kaum muslimin lebih dulu diserang dan tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh, misalnya negosiasi dengan pihak lawan. Dengan kata lain, bahwa jihad (dalam pengertian qital) merupakan peperangan defensif: menyerang apabila diserang.
Khusus mengenai jihad dalam pengertian qital, al-Qur'an secara tegas memberikan arahan. Yaitu, pertama perang merupakan keseriusan murni yang tidak boleh diselingi kesantian, peremehan, penyepelehan dan atau guyonan. Sikap teledor dalam peperangan tidak saja berbuntut pada kekalahan, tetapi juga akan berdampak pada tindakan sembrono yang dapat mengakibatkan banyaknya nyawa melayang, baik di pihak lawan maupun kawan. Ini artinya, bahwa kapanpun dan bagaimanapun jihad (qital) diperbolehkan, namun Islam tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Kedua, al-Qur'an memberikan batasan minimum dalam perang. Artinya, bahwa tidak diperbolehkan menggunakan peralatan senjata, apapun jenisnya, yang melebihi kekuatan senjata musuh, termasuk di dalamnya menggunakan sarana-sarana yang lebih buruk. Batasan minimal ini diakseleratifkan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, dalam perang tidak dibenarkan jika ada yang sampai membabat habis pepohonan, membakar harta benda dan rumah-rumah, dan atau melakukan tindakan anarkis lainnya, setelah musuh benar-benar dalam keadaan kalah atau terdesak. Sampai-sampai para keluarga yang ditinggalkan (gugur di medan perang) harus tetap dihormati dan diperlakukan secara manusiawi.
Oleh karena itu, Jamal Albana--dengan mencermati konteks sekarang--memandang bahwa tidak tepat jika jihad dipahami sebagai qital (perang secara fisik). Alasannya, karena jihad yang pernah dilakukan di masa-masa awal Islam telah kehilangan semangat keislaman yang sesungguhnya: humanis dan populis. Semangat anti kekerasan yang didasarkan pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, telah digantikan oleh kepentingan etnis, fanatisme kelompok. Semangat inilah--menurut jamal Albana-- dalam sejarah Islam mengakibatkan bencana bagi umat Islam di belahan Eropa. Maka, saatnya jihad dikembalikan kepada makna yang sesungguhnya.
Kehidupan merupakan pilihan fundamental antara kebaikan dan keburukan. Islam melalui kitab sucinya menjadikan setan sebagai sumber kekuatan jahat. Setan selalu berperan untuk menyeret manusia ke jalan kemaksiatan dan keburukan. Ia selalu menjadi musuh abadi manusia dalam kehidupan ini.
Sementara itu, kebaikan bersumber dari Allah melalui wahyu yang telah diturunkan kepada nabi-Nya. Dialah sumber hidayah dan cahaya yang menerangi kehidupan. Hidayah itu adalah ilmu, hati nurani, kebajikan, kebaikan, petunjuk para nabi dan ajaran-ajaran kitab suci (al-Qur'an).
Di tengah pilihan-pilihan itu, antara kebaikan dan keburukan, setiap insan muslim dituntut untuk senantiasa bersikap siaga. Siaga untuk selalu berusaha menghindari keburukan. Demikian pula, siaga untuk selalu menyongsong kebaikan. Sikap siaga menuntut adanya upaya perjuangan keras secara terus-menerus. Perjuangan melawan keburukan dan perjuangan untuk selalu berada di jalan kebaikan.
Menurut Jamal Albana, jihad adalah sebuah weltanchaung dalam memandang dan menjalani kehidupan. Ia merupakan tuntunan abadi dalam Islam. Jihad tidak berarti perang (qital) atau mati syahid di jalan Allah, tetapi bagaimana menjalani hidup ini agar tetap eksis di jalan-Nya: jihad untuk tetap memenuhi panggilan kebaikan yang datang dari Allah, dan meninggalkan segala bentuk keburukan. Inilah makna jihad yang sebenarnya (haqiqi) dan paling mendasar dalam Islam.
Sampai sekarang, memang masih ada sementara umat Islam yang memahami jihad dengan perang secara fisik atau pertumpahan darah. Namun pemahaman seperti ini dalam Islam keliru dan menyimpang. Kekeliruan mereka terletak bahwa mereka salah dalam memahami konteks ayat-ayat yang berisi seruan untuk berperang (qital). Lebih-lebih, ayat-ayat yang membicarakan tentang masalah perang (qital) dalam al-Qur'an tidak lebih dari 15 halaman. Namun anehnya, minimnya ayat-ayat qital ini justru menjadi masalah pembicaraan yang intens dan sangat luas dalam kajian di bidang fiqh dan lebih-lebih dalam sirah kenabian. Hal ini cukup memberikan pengaruh dalam pemahaman umat Islam akan legalitas berjihad dalam pengertian memerangi musuh Allah demi tujuan li i'lai kalimatillah. Pemahaman seperti ini--sekali lagi--harus dibongkar dan diluruskan.
Jihad yang haqiqi adalah terus-menerus berupaya berada dalam jalur kebaikan demi memperjuangkan kemaslahatan umat manusia (khususnya umat Islam) dan melawan dengan sekuat tenaga berbagai bentuk upaya yang dapat menghancurkan eksistensi manusia. Singkatnya, jihad dalam Islam merupakan suatu semangat dan sikap yang dapat mengangkat derajat kemanusiaan umat manusia demi terciptanya tatanan masyarakat yang penuh dengan keadilan, persaudaraan, solidaritas, perdamaian, kemajuan, dan egalitarinisme. [mf]

No comments: