Oleh: M. Faisol Fatawi
Fakta sejarah seringkali dipandang kebanyakan orang sebagai sebuah dokumen tentang serangkaian peristiwa pada masa lalu. Bahwa ia adalah kumpulan kejadian sebagai akibat dari aktifitas manusia dalam rangka berinteraksi dengan dunia di luar dirinya dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Ini berarti, sejarah itu adalah catatan tentang sesuatu yang statis (baca: mati).
Adalah G.W.F. Hegel, bapak filsafat kritis, yang melihat fakta sejarah dengan sudut pandang lain. Menurut Hegel, semua organisasi manusia yang stabil, semua masyarakat agama dan politik, didasarkan pada prinsip yang jauh berada di luar kendali satu atau banyak orang. Setiap orang, dalam setiap iklim dan jaman, dilahirkan, hidup dan bergerak. Semua itu bukan merupakan hasil dari kontrak sosial, dan bukan pula hasil dari penemuan seseorang.
Namun fakta itu merupakan perwujudan objektif dari rasio yang tidak terbatas, sebuah dorongan pertama dari Dia yang membuat darah semua manusia untuk tinggal di muka bumi, yang telah menentukan jaman sebelum ditetapkan, dan ikatan tempat tinggal mereka saat merasakan ketidakmujuran dan menemukan dirinya. Rasio memiliki esensialnya sendiri. Bahwa manusia yang tidak sempurna ada di dalam penghambaan, sementara itu kesempurnaan eksistensi sosial pada umumnya dipandang sebagai satu pembebasan dari penghambaan tersebut.
Menurut Hegel, ada dua pertimbangan dasar. Pertama, ide tentang kebebasan sebagai tujuan akhir dan mutlak. Kedua, sarana untuk merealisasikannya, yaitu sisi subjektif pengetahuan dan kehendak, dengan hidup, gerak, dan aktifitasnya. Keduanya memiliki saling keterkaitan yang erat.
Kita mengenali ide dalam bentuk tertentu kesadaran akan kebebasan dan kehendak itu sendiri yang meliputi ide rasio yang murni dan sederhana, atau yang juga kita sebut dengan subjek: ruh secara aktual ada di dalam dunia. Sementara pada saat yang sama kita mempertimbangkan subjetivitas, bahwa pengetahuan dan kehendak subjektif adalah pemikiran. Antara ide rasio yang mempunyai sisi objektif dan personalitas yang berpikir dan menghendakinya, yang memiliki sisi subjektif membentuk kesatuan hakiki.
Ide atau rasio adalah kompleks yang tidak terbatas dari segala sesuatu, hakekat dan kebenarannya utuh. Ia meruapakan kebenaran, keabadian, dan esensi yang berkuasa secara mutlak; ia mewujudkan dirinya dalam dunia, dan di dunia tidak ada perwujudan yang lain kecuali ide dan kemurnian serta keagungannya. Namun pada saat yang sama, rasio menimbulkan akibat akibat dalam sejarah dunia karena ia memberikan kesempatan kepada kita kesempatan untuk mengkaji secara mendalam berbagai persoalan yang menimbulkan kesulitan yang terbesar
Oleh karena itu, bagi Hegel sejarah adalah ide tentang ruh di dalam perwujudan lahir kehendak manusia dan kebebasannya. Ia lahir sebagai keseluruhan moralitas dan realitas kebebasan, dan akibatnya sebagai kesatuan objektif dari unsur ide dan sarana untuk merealisasikannya.
Ketika ruh mencapai kebebasannya, maka ia akan membutuhkan sebuah kode tentang undang-undang dan konstitusi. Di situlah subordinasi rasional alam atas rasio yang berlaku dalam adanya sendiri, dan kekuatan yang ia rasakan untuk mewujudkan bujukan lahiriah akan terlihat dengan jelas. Bahwa rasio menguasai dunia, dan akibatnya menguasai sejarah.
Dalam hal ini, nampak seolah-olah pemikiran harus merendahkan apa yang sudah pasti, pada realitas fakta. Filsafat bermukim di dalam ide yang dihasilkan jiwa, tanpa mengacu pada aktualitas. Mendekati sejarah dengan demikian –menurut Hegel-- menawan hati, spekulasi dapat diharapkan untuk menyatakan sebagai materi yang pasif. Ia membiarkannya dalam kebenaran aslinya, dengan memaksanya sesuai ide tirani, dan dengan menguraikannya, sehingga ungkapannya adalah a priori.
Jika sejarah membicarakan apa yang terjadi di masa lampu atau memprediksikan apa yang bakal terjadi, maka sejarah dalam kerangka filsafat sebagaimana yang dikatakan oleh Hegel membicarakan tentang apa yang ada, yang mempunyai eksistensi abadi, yakni rasio.[mff]
No comments:
Post a Comment