Oleh: M. Faisol Fatawi
Akhir-akhir ini Depag membagikan beasiswa studi di perguruan tinggi Islam negeri—meskipun ini bukan yang pertama kali. Beasiswa itu diberikan secara mutlak (mulai semester pertama sampai terakhir). Beasiswa ‘langka peminat’ namanya. Upaya ini dilakukan dalam rangka menarik minat masyarakat agar mereka mau belajar di bidang keilmuan tertentu. Satu diantara bidang keilmuan yang ditawarkan untuk mendapatkan beasiswa langka peminat tersebut adalah bidang sejarah peradaban/kebudayaan Islam. Bagi siapa saja yang berminat belajar di jurusan (bidang) sejarah peradaban/kebudayaan Islam ini, maka akan mendapat jaminan gratis kuliah sampai selesai.
Upaya membuka beasiswa langka peminat sebagaimana tersebut diatas menunjukkan keseriusan Depag dalam mengembangkan bidang kajian sejarah Islam khususnya, dan pembangunan dunia pendidikan pada umumnya di satu sisi. Tetapi pada saat yang sama, upaya tersebut mengundang keprihatinan kita semua. Kita prihatin karena ternyata concern masyarakat Islam khususnya, telah mencapai titik nadir; masyarakat ternyata tidak tertarik lagi dengan sejarah. Bagi mereka, sejarah seolah tidak memiliki arti apa-apa sehingga tidak tertarik untuk mengkaji dan mendalaminya. Sudah sedemikian parahkah masyarakat Islam kita sehingga emoh dengan sejarah, sampai-sampai Depag harus menawarkan studi gratis di jurusan sejarah Islam?
Sejarah merupakan catatan dan rekaman mengenai peristiwa-peristiwa atau momen-momen penting yang telah terjadi masa lalu. Ia menjadi bagian hidup yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Setiap masyarakat selalu memiliki catatan sejarahnya, baik sejarah itu kelam maupun jaya. Sejarah berisi tentang rekaman berbagai aktifitas, seperti pengetahuan, tradisi, adat-istiadat, ritual-ritual, waktu peperangan dan hal-hal yang terkait dengan kehidupan manusia. Maka dapat disebutkan, sejarah tidak lain adalah identitas hidup manusia dimanapun berada.
Sedemikian pentingnya sejarah bagi kehidupan umat manusia, agama Islam memberikan perhatian lebih terhadapnya. Dalam surat al-Hasyr dinyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwahlah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaknya seseorang melihat apa yang telah terjadi untuk hari esok. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan.” Ayat tersebut menegaskan kepada kita tentang perintah untuk menengok kebelakang (baca: melihat) atas apa-apa yang telah berlangsung untuk kepentingan hari esok. Melihat kembali masa lalu berarti mengambil ibrah darinya. Ini sejatinya dilakukan demi kemaslahatan hidup pada saat berikutnya.
Pada hakekatnya, setiap manusia hidup dalam tiga batasan waktu. Yaitu, masa lalu (al-madli), sekarang (al-hadlir) dan masa depan (al-mustaqbal). Waktu yang pernah dilalui oleh manusia dengan berbagai bentuk aktifitas yang dilakukan, masuk dalam batasan masa lalu. Masa yang sedang dilalui, menunjukkan waktu sekarang. Sementara itu, masa yang akan dilalui dinamakan dengan masa datang. Hubungan manusia dengan masa lalu bersifat flash back, hubungan dengan masa sekarang bersifat kekinian dan hubungan dengan masa akan datang bersifat prediktif. Menengok masa lalu berarti melihat dan membaca kembali segala yang pernah terjadi. Sedangkan melihat masa sekarang berarti merasakan dan menjalani apa-apa yang sedang dijalankan. Sementara melihat masa depan berarti menanti sesuatu yang akan terjadi. Apa yang terjadi pada masa lalu tidak dapat dirubah dan apa yang akan terjadi di masa mendatang dapat direncanakan sebelumnya.
Disadari maupun tidak disadari, manusia cenderung mengabaikan pentingnya waktu/masa (dahulu, sekarang dan mendatang). Masa dianggap sebagai sekedar perjalanan momen-momen. Bahkan yang sering kita lakukan terkait dengan masa lalu, sekarang dan akan datang, adalah memperlakukannya sebagai rutinitas pergantian waktu semata, sehingga kita sering kehilangan kontrol dalam bertindak atau melakukan sesuatu; apa yang sudah pernah dilakukan, apa yang sedang dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Jika memang kebiasaan seperti ini yang sering kita lakukan dalam mensikapi waktu, maka tentunya kita sebagai orang muslim masuk dalam kategori orang yang merugi (coba perhatian QS. al-Ashr: 1-2).
Sungguh, fenomena ketidak-tertarikan masyarakat Islam khususnya, terhadap sejarah merupakan gejala yang memilukan. Kita berharap semoga langkanya peminat dari masyarakat Islam terhadap sejarah peradaban/kebudayaan Islam sebagaimana disebut di atas, hanya sebatas kealpaan sesaat, dan tidak menjalar menjadi nalar-epistemik masyarakat Islam kita. Jika tidak, maka sebuah tragedi sejarah paling kelam dalam sejarah-sejarah umat manusia akan terjadi; manusia lupa sejarah dan berarti ia akan teralienasi dari otentisitas dirinya.[mf]
No comments:
Post a Comment