Oleh: M.Faisol Fatawi
Seks merupakan masalah yang penting bagi kehidupan manusia. Masalah ini hadir di dalam diri kita secara alami. Setiap kali syaraf mata kita menangkap stimulus tertentu, naluri seks langsung bekerja. Karena begitu penting, maka tak heran jika agama --yang telah diklaim sebagai pedoman kehidupan-- turut serta menjadikan seks sebagai hal yang harus diatur dalam agama. Bahkan hampir dapat dipastikan, bahwa tidak ada agama yang menafikan masalah seks.
Dalam setiap agama, seks dianggap sebagai sesuatu (baca: sarana) yang bertujuan prokreasi, yakni meneruskan ciptaan Tuhan. Manusia pertama dikabarkan beranak pinak, sehingga hubungan seksual digunakan untuk meneruskan dan melanggengkan ras keturunannya. Karena itu, masalah seks dalam agama telah menampakkan wajah sakralitasnya. Dengan kata lain, bahwa urusan seks dalam agama tidak saja menjadi masalah biologis semata, tetapi menjadi hal yang "suci".
Wajah seks yang seperti itu dapat dilihat dalam tradisi agama-agama yang lahir di belahan tanah India, dimana seks ditampilkan secara vulgar dengan model ilahiah dan sekaligus kemanusiaan. Dalam hal ini, kita dapat menemukan cerita-cerita yang menggambarkan sosok seorang dewa yang dipahami sebagai lambang keperkasaan kejantanan (baca: seksual). Dewa itu tidak lain adalah Siwa: sang dewa seks dan sekaligus dewa asketisme. Gambaran seperti ini tertulis dalam epik Mahabarata.
Gambaran lebih jelas juga dapat disaksikan dalam buku panduan seks yang sangat terkenal seperti Kamasutra. Buku ini bisa dikatakan sebagai "kitab suci" yang tidak saja memuat pujian-pujian kepada para dewa, tetapi sekaligus berisi tentang seni hubungan seks antara laki-laki dan perempuan. Bahkan membacanya menjadi semacam kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang calon pengantin.
Demikian halnya tradisi keyakinan agama yang tumbuh subur di dataran Cina. Gagasan mengenai masalah seks dalam tradisi agama Cina (khususnya Taoisme) tidak dapat lepas dari teori yang telah dikembangkan dari I Ching. Ada Yin dan Yang. Yin adalah simbol kelembutan seorang perempuan, sedangkan Yang merupakan simbol keperkasaan laki-laki. Untuk memperoleh energi seksual yang luar biasa, antara Yin dan Yang harus disatukan. Pertukatan timbal balik antara keduanya, diyakini mampu menghasilkan keserasian yang sempurna dan hubungan seksual, bahkan konon dapat meningkatkan stamina dan memperpanjang usia. Gagasan Yin dan Yang ini menyerupai gagasan In dan Yo di Jepang.
Sementara itu, gagasan mengenai seks dalam tradisi agama-agama Semitik tidak menampakkan wajah yang begitu syuur. Wajah seks lebih dibungkus dalam kerangka normatifitas teks, yang cerminannya dapat ditemukan dalam pengalaman seorang nabi. Baik dalam Islam, Kristen maupun Yahudi, tidak ditemukan adegan-adegan tertentu yang termanifestasikan ke dalam bentuk buku panduan maupun pahatan-pahatan berbentuk cerita, yang bersifat visual.
Demikianlah, agama-agama menggambarkan dan berbicara tentang persoalan seks dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Namun, hal yang tidak dapat dinafikan bahwa agama telah memberikan makna baru terhadap masalah seks, dari sekedar persoalan badaniah-alami menjadi persoalan yang sakral: aktifitas seksual merupakan bentuk ibadah dan menjadi bagian ritus pemujaan.[mff]
No comments:
Post a Comment