Oleh: M. Faisol Fatawi
Suatu ketika seorang teman bercerita tentang pengalamannya melakukan penelitian di salah satu desa di Gunung Kidul Jogjakarta. Teman penulis bercerita, seraya menirukan apa yang telah dicritakan oleh salah seorang warga, bahwa ada salah seorang anggota keluarga sakit keras –yang kalau dalam perkiraan medis orang itu dipastikan akan meningga dunia. Berbagai usaha sudah dilakukan demi kesembuhannya: lewat do’a-do’a, dukun-dukun, jampi-jampi, bahkan sampai pengobatan medis maupun alternatif. Namun hasilnya sia-sia, si pasien tak kunjung sembuh. Akhirnya, salah seorang anggota keluarganya memutuskan untuk kembali pada tradisi (kebiasaan) yang diwariskan oleh para pendahulunya, yaitu mengitari rumah sebanyak tiga kali dalam keadaan telanjang bulat. Wal hasil, si pasien sembuh dari sakitnya. Si pasien pun kembali sehat seperti sediakala.
Sekilas cerita tersebut mungkin lucu atau bahkan terkesan sengaja diada-adakan, namun itu adalah fakta yang benar-benar terjadi. Yang paling penting dari cerita itu adalah tindakan mengitari rumah sebanyak tiga kali dalam keadaan telanjang bulat atas dasar kembali pada tradisi orang-orang terdahulu, dan justru dengan tindakan seperti itulah si pasien bisa sembuh. Lalu apa relevansinya dengan konteks diskusi science dan agama?
Tindakan mengitari rumah dengan telanjang bulat jelas tidak mencerminkan prilaku yang disahkan atau kurang etis jika dilihat dari sudut pandang agama. Agama senantiasa mengajarkan kepada para pemeluknya untuk berdo’a kepada Tuhan di saat mengalami musibah. Berdo’a merupakan tata cara yang diajarkan dan bahkan sangat dianjurkan dalam agama. Tidak ada aturan agama yang menganjurkan kepada pemeluknya untuk telanjang bulat sambil mengitari rumah demi kesembuhan si pasien.
Demikian pula tindakan mengitari rumah dengan telanjang bulat tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang medis. Dalam logika medis, penyakit yang hinggap dalam tubuh pasien harus diteliti melalui beberapa tahap pendiagnosaan, sebelum sampai pada kesimpulan jenis penyakit dan pengobatannya. Sudah barang tentu pengobatannya berbeda sesuai dengan jenis penyakit. Jelasnya secara medis logika science kedokteran tidak bisa menerima tindakan telanjang bulat tersebut.
Kita memang harus mengakui, bahwa ketiga wilayah tersebut (agama, science dan tradisi alami) berbeda antara satu sama lainnya. Tradisi alami berpijak para praktek-praktek yang telah dilakukan oleh para pendahulu, agama lebih menjadikan retorika teks-teks suci, dan science lebih pada logika matematis. Perbedaan ini justru sering disalah-pahami. Akibatnya, ketiga wilayah tersebut cenderung menyisakan “konflik” di tengah kehidupan modern.
Dalam pandangan sebagian agamawan, agama dipahami sebagai aturan yang melingkupi segalanya, yang mewakili semua kebenaran, sehingga segala yang di luar wilayah ini harus tunduk padanya: agama adalah solusi segalanya. Mereka yang mendukung science pun kadang angkuh, menganggap bahwa science pun dapat mengatasi segala kesulitan yang dihadapi manusia. Sementara pemegang tradisi alami lebih kurang terbuka (menutup diri) atas temuan-temuan science, sehingga mereka emoh menggunakan segala produk science.
Ilustrasi cerita di atas mengisyaratkan sebuah kenyataan kepada kita, bahwa ada hal (baca: kebenaran) yang terjadi di luar science maupun agama. Cara menyembuhkan penyakit dengan berpijak pada tradisi ternyata dapat menggantikan penyembuhan secara medis dan menggantikan tatanan agama (baca: do’a). Jika agama menyarankan kepada si pasien dengan membaca do’a-do’a kepada Tuhan demi keselamatannya, dan jika science kedokteran memberi pengobatan kimiawi setelah mendiagnosa penyakit demi kesembuhannya, maka mengitari rumah dengan telanjang –dalam konteks ini—telah menggantikan keduanya. Di sini tradisi (alami) telah melakukan apa yang dilakukan oleh agama dan science kedokteran, yaitu mampu menjadi solusi buat kesembuhan si pasien.
Kenyataan bahwa tradisi (alami) mampu memberikan penyelesaian, semakin membuka mata kita akan keterbatasan masing-masing wilayah tersebut. Pada satu titik mungkin agama dapat memberikan solusi, namun pada titik lain tidak bisa berbuat apa-apa. Demikian pula science, pada satu sisi harus diakui sumbangan yang diberikan di tengah kehidupan, namun pada sisi lain tidak berkutik sama sekali. Kemampuan tradisi alami dalam beberapa kasus tertentu untuk menggantikan agama dan science pun tidak dapat dimutlakkan. Ini berarti memutlakkan kebenaran peran masing-masing hanya akan berujung pada sikap menganggap benar sendiri: semua bersifat nisbi.
Agar ketiga wilayah tersebut tidak berjalan dengan klaim kebenaran perannya masing-masing, maka semestinya kita tidak meletakkannya secara berhadap-hadapan. Antara satu sama lain harus didialogkan. Mendialogkannya berarti berupaya saling mengisi antara satu sama lain dengan menyadari keterbatasannya masing-masing. Agama dapat dijadikan sebagai landasan moralitas bagi science dan kelangsungan tradisi. Science bisa memberikan kemudahan bagi praktek keagamaan dan pengembangan tradisi. Tradisi pun dapat dijadikan sebagai kekuatan progresif demi perkembangan kreatif kebudayaan (agama dan Science).[mf]
No comments:
Post a Comment