Oleh: M. Faisol Fatawi
Idul Adha adalah salah satu momen penting dalam Islam. Ia merupakan hari besar kedua setelah Idul Fitri. Di hari yang agung ini, setiap muslim diperintah untuk banyak melantunkan bacaan takbir dan tahmid. Tak kalah penting lagi, penyembelihan hewan kurban dilakukan seusai shalat Ied. Penyembelihan ini telah menjadi ikon tersendiri. Bahkan kata Idul Adha itu sendiri mengandung arti “hari penyembelihan”, yakni penyembelihan hewan kurban.
Cerita mengenai penyembelihan hewan kurban telah masyhur dan termaktub dalam al-Qur’an. Bahwa nabi Ibrahim dalam suatu mimpi didatangi oleh malaikat Jibril, dan mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih putranya (Ismail). Rasa berat menggelayuti diri Ibrahim, namun apa boleh buat semua itu merupakan perintah Allah. Sang putra Ismail juga tidak pantang surut ketika mengetahui bahwa perintah penyembelihan dirinya datang dari Allah. Justru, Ismail malah berusaha sekuat tenaga menepis keraguan ayahnya. Akhirnya, upacara penyembelihan disiapkan. Leher Ismail telah siap menerima gesekan pedang. Namun, yang terjadi justru Allah mengganti tubuh Ismail dengan seekor domba.
Kini, penyembelihan hewan kurban telah menjadi ritual dan tradisi keagamaan bagi umat Islam dimanapun mereka berada. Tidak semua orang diwajibkan untuk berkurban, hanya mereka yang mampu saja. Dalam praktinya, tradisi keagamaan yang satu ini terkesan dipahami sebagai bentuk ritual penyembelihan tahunan dan kadang dijalankan mirip dengan pemberian santunan yang bersifat karikatif, atau bahkan dijadikan sebagai ajang hura-hura dan senang-senang, sehingga lupa pada makna esensialnya. Sungguh sebuah ironi jika memang ini yang terjadi.
Sebenarnya, ritual penyembelihan hewan kurban merupakan ilustrasi yang bagus untuk suatu bentuk komunikasi nonverbal antara hamba dengan Tuhan. Dalam hal ini terjadi pertukaran benda: hamba mempersembahkan hewan kurban dan Allah sebagai Dzat maha tinggi yang menerima. Nabi Ibrahim dengan suka rela mengorbankan putra tercintanya, namun oleh Allah diganti dengan seekor domba, lalu Allah memerintahkan Ibrahim untuk membuka matanya dan menyadari bahwa Allah telah menerima kurbannya.
Hubungan antara manusia dengan Tuhan tentu berbeda dengan hubungan manusia dengan makhluk yang lain. Dalam proses komunikasi melalui hewan kurban tergambar bahwa hamba yang berkurban menyadari akan apa saja yang diinginkan dan dikehendaki oleh Tuhan, dan bahwa dirinya tidak memiliki kekuatan apa-apa selain tunduk pada kehendak-Nya. Jelas, ini merupakan bentuk kepasrahan penuh manusia kepada Tuhannya. Ketundukan seperti ini penting dalam rangka perjalanan spriritual untuk mendatangi dan menghadap sang Khalik kelak, karena memang hanya kepada Allah-lah tempat kembali.
Dalam proses ritual penyembelihan hewan kurban juga dapat ditemukan sebuah bentuk penegasan persahabatan dan solidaritas sosial. Hewan kurban yang telah disembelih tidak dibuang secara sia-sia. Dagingnya dibagi-bagikan secara merata. Baik yang miskin maupun yang kaya mendapat bagian yang sama. Karena memang secara syar’i tidak ada nash yang mengatur untuk itu. Tidak seperti zakat misalnya, yang mustahiq-nya sudah ditentukan.
Pada akhirnya, kita pun tidak dapat memungkiri bahwa ritual penyembelihan hewan kurban merupakan suatu tindakan religius yang diyakini dapat merubah keadaan moral orang-orang yang melaksanakannya. Ia telah menjadi media komunikasi antara yang duniawi dan yang sakral. Antara hamba dan Tuhannya. Sebuah dialog yang tak akan pernah berakhir selama nafas kehidupan terus berjalan. Kita butuh kearifan hati dan kejernihan pikiran untuk memahami dan memaknai arti dari sebuah penyembelihan hewan kurban.[mff]
No comments:
Post a Comment