Oleh: M. Faisol Fatawi
“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam” (QS Ali Imran: 19)
Mengapa nama agama kita itu Islam? Pertanyaan ini mungkin sedikit mengganggu pikiran kita, karena selama ini kita menerima begitu saja kalau agama yang kita peluk adalah Islam. Atau mungkin kita akan menjawabnya, bahwa memang seperti itulah yang termaktub dalam Al-Qur’an sebagaimana tersebut di atas (Surat Ali imran: 19) –malah ayat lain meneguhkan “siapa yang tidak menjadikan Islam sebagai agama, maka ia tidak akan diterima” (Ali Imran: 85). Tetapi kita juga akan terkejut dan bahkan sedikit tidak akan percaya jika kita membaca Al-Qur’an yang diriwayatkan oleh Ibnu Masud, salah seorang sahabat yang keilmuannya diakui oleh Nabi Saw, yang menyatakan, bahwa Inna al-Dina Inda Allahi al-Hanifiyah (Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Hanif). Lalu mengapa agama kita tidak diberi nama agama Hanif saja?
Meskipun dalam riwayat bacaan yang dianggap sah oleh mayoritas ulama, “Islam” lebih populer untuk dijadikan nama agama bahkan mungkin tidak boleh ditawar dan dipertanyatakan lagi, namun yang jelas Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa “Islam” adalah agama yang masih segaris dengan agama yang dibawa oleh nabi Ibrahim As. Dengan kata lain, bahwa “Islam” adalah penerus agama nabi Ibrahim As. yang dalam beberapa ayat disebut dengan “agama nabi Ibrahim As. yang lurus (hanif)” (Al-Baqarah: 135), “ikutilah agama nabi Ibrahim As. yang lurus (hanif)” (Ali Imran: 95), “…dan ia mengikuti agama nabi Ibrahim As. yang lurus (hanif)” (An-Nisa’: 125), dan “katakanlah aku telah ditunjukkan oleh Tuhanku pada jalan yang lurus, agama yang benar; agama nabi Ibrahim As. yang lurus (hanif)” (Al-An’am: 161).
Mencermati beberapa ayat tersebut, dapat ditarik benang simpul bahwa agama yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw. –yang sekarang namanya kita sebut dengan Islam—adalah sama dengan agama yang dibawa oleh nabi Ibrahim As. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa agama islam adalah agama hanif, dan sebaliknya agama hanif adalah agama islam. Setidaknya persamaan ini dapat kita telusuri melalui pemahaman mendalam tentang kedua makna kata itu sendiri: islam dan hanif.
Kata islam dan hanif serta berbagai kata turunannya dapat ditemukan dalam Al-Qur’an berkali-kali. Dalam beberapa kamus dinyatakan, bahwa kata islam dari kata salima yang berarti selamat, ketundukan, perdamaian, dan ketentraman. Sedangkan kata hanif berasal dari hanafa yang berarti lurus dan mengikuti aturan. Pada suatu tempat, kedua kata tersebut digunakan secara berpisah, sementara pada tempat yang lain keduanya digunakan secara bersamaan: lihat misalnya surat Ali Imran: 67, bahkan setiap orang yang sholat, setelah takbir pertama, senantiasa membaca “inni wajjahtu wajhiya li al-ladzi fathara al-samawati wa al-ardli hanifan musliman wama ana min al-Musyrikin” (sungguh saya menghadapkan wajahku pada Dzat (Tuhan) yang telah menciptakan langit dan bumi dengan penuh ketundukan dan kelurusan, dan saya bukan termasuk orang musyrik).
Dalam sebuah hadis Nabi saw dinyatakan, bahwa “seorang muslim adalah orang yang dapat menyelamatkan orang lain dari mulut dan perbuatannya”. Apa yang dapat ditangkap dari pernyataan hadis itu, bahwa tindakan pro aktif dalam upaya selalu menjaga perdamian, menciptakan keselamatan dan ketentraman merupakan tanggungjawab bagi yang muslim. Menciptakan ketentraman dan keselamatan butuh pada sikap diri yang senantiasa saling menjunjung tinggi kesepakatan atau aturan main bersama yang didasarkan atas kepentingan dan demi eksistensi bersama (baca: kemanusiaan). Ketentraman dan keselamatan tidak berarti apa-apa manakala diri tidak mengikuti aturan bersama. Di sinilah kita dapat menemukan medan makna kata islam dan hanif, sebuah makna universal, progresif dan visioner. Keduanya bergerak secara simultan dan dialogis. Barangkali makna visioner dan progresif inilah yang menjadi landasan dan pijakan agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. dan nabi Ibrahim As, sehingga –tak heran—antara kedua agama tersebut dinyatakan sebagai satu keturunan: sama-sama agama yang menegakkan eksistensi dan martabat kemanusiaan menuju keselamatan dan perdamaian bersama.
Struktur makna terdalam dari kedua kata tersebut di masa Nabi Saw. kemudian dijadikan pijakan untuk menegakkan dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan: ukhuwah (persaudaraan), musawah (persamaan), dan adalah (keadilan). Nilai dasar perjuangan ini menjadi daya tarik suku-suku di semenanjung jazirah Arab untuk bergabung dengan beliau. Sejarah mencatat, bahwa suku Aus dan Khazraj adalah suku pertama yang menyatakan diri bergabung dengan Muhammad, karena kedua suku tersebut –pada saat itu—masuk dalam daftar suku yang paling tertindas: mencari dukungan nabi agar terbebas dari cengkraman kelas aristokrat Makkah. Kita juga dapat menengok kembali “Piagam Madinah” yang pernah ditulis oleh Nabi Saw. Piagam ini memuat kesepakatan bersama untuk selalu menjunjung tinggi persaudaraan, persamaan, dan keadilan di antara sesama: lintas individu, agama, kelompok, etnik, dan budaya.
Sampai di sini, kita dapat menangkap, bahwa sebenarnya islam dan hanif itu merupakan sistem makna yang luas, universal-progresif-visioner, lintas individu, agama, etnik, dan budaya. Makna itu melampaui kata itu sendiri, lebih-lebih jika Islam dan Hanif itu dijadikan sebagai sistem nama belaka. Lalu bagaimana dengan penamaan agama Islam kita sekarang ini? Ada apa dengannya sehingga pertanyaan sebagaimana tersebut di awal tulisan ini dikemukakan?
Biarkan nama Islam itu seperti apa adanya. Kita tidak usah menggantinya dengan nama Hanif atau nama-nama yang lain. Dua nama agama tersebut di atas sebagaimana yang terdapat dalam riwayat bacaan yang berbeda, dihadirkan dalam tulisan ini untuk melihat kemungkinan makna yang selama ini tidak (ter)dipikirkan, untuk menata dan membangun kembali kesadaran beragama dan praktiknya, serta syarat-syarat apa yang harus dipenuhi agar dapat mendekati makna agama dan beragama yang sesungguhnya.
Menjadi kegelisahan kita bersama, jika Islam dijadikan sebagai tameng individu atau kelompok dengan mengatasnamakan Tuhan. Akhir-akhir ini kita sering melihat gejala mengatasnamakan Islam. Kalau tidak Islam berarti harus diperangi atau diislamkan. Ini terjadi karena Islam telah dijadikan sebagai sebuah identitas yang parsial-ekslusif, bukan identitas yang melebihi identitas individu, agama, etnik, dan budaya, dan selanjutnya digunakan untuk menilai diri di luar dirinya. Seringkali kita mengajak berjihad di jalan Allah demi Islam, sementara kita tidak sadar bahwa peperangan itu sendiri akan mengakibatkan ribuan korban jiwa dan mengancam ketentraman bersama, bahkan mengobarkan api permusuhan. Kita telah mempersempit medan makna Islam sehingga pandangan keislaman kita menjadi lebih picik dan tertutup. Sekarang tiba saatnya kita mengembalikan makna Islam pada sistem maknanya sendiri yang progresif-visioner, lintas individu, agama, kelompok, etnik, dan budaya. [mf]
No comments:
Post a Comment