Oleh: M. Faisol Fatawi
Jalaluddin Arrumi, seorang sufi agung dan masyhur, pernah mengilustrasikan sebuah cerita tentang seorang mahasiswa dan tukang kebun. Singkat ceritanya, suatu ketika ada seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Baghdad sedang menanti waktu senggang belajar. Mahasiswa itu duduk-duduk santai di samping lahan kebun yang mengitari sekolahan. Pandangannya tertuju pada buah-buah mangga yang bergelantungan di atas pohon, sehingga hatinya terbersit untuk memetiknya.
Sang mahasiswa itu pun mencari akal untuk menghindari si penjaga kebun mangga. Secepat mungkin ia melompati pagar kebun, dan berjalan mengendap-endap di balik rerimbunan pohon mangga yang lebat. Rasa bahagia tergurat di wajahnya, ketika mahasiswa tersebut dapat memetik mangga dan memakannya dengan lahap. Namun tanpa disadari, perbuatan mahasiswa itu diketahui oleh si penjaga kebun. Maka tak pelak, adu mulut pun terjadi antara mahasiswa dan penjaga kebun itu.
“Kenapa kamu nekat masuk dan makan buah mangga? Tahukah kalau mangga itu bukan milikmu?” Tanya penjaga kebun.
“Kata siapa? Mangga itu milik Tuhan. Tuhan menjadikan semua yang hidup di muka bumi untuk kita semua,” sahut sang mahasiswa yang sedang belajar filsafat itu.
Penjaga kebun terdiam seribu bahasa. Ia tidak kuasa mematahkan argumentasi mahasiswa itu. Penjaga kebun tersebut diam sejenak. Ia tidak mau kehilangan akal, dan dibodohi oleh mahasiswa filsafat itu. Ia berpikir sejenak. Tiba-tiba, ia pun lantas menghadiaihi mahasiswa itu dengan sebuah pukulan yang cukup keras.
“Apa salahku? Bukankah sudah aku katakan kalau mangga itu milik Tuhan?” tanya mahasiswa itu.
“Aku tahu apa maksud ucapanmu itu. Tetapi tidakkah kamu juga tahu kalau pukulanku dating atas insiatif Tuhan. Jadi, sesungguhnya yang memukul tadi bukan aku, tetapi Tuhan,” serunya dengan gaya filosofis dan diplomatis.
Akhirnya, mahasiswa filsafat itu tak kuasa apa-apa. Mereka berdua hanya terdiam seribu bahasa, sambil saling memelototi mata. Mereka berdua pun bubar dengan tanpa meninggalkan sepatah kata.
Menurut Rumi, cerita tersebut di atas merupakan metafora dari sebuah pengalaman hidup seseorang. Yang menjadi penting dari cerita bukan terletak pada tindakan pencurian mangga dan pemukulan terhadap mahasiswa. Tetapi, tindakan keduanya lahir karena dipicu oleh kemauan dan kesempatan untuk melakukan pencurian dan pemukulan. Dengan kemauan dan kesempatan yang dimiliki, mahasiswa itu memakan mangga dengan tanpa izin, dan dengan kemauan dan kesempatan pula sama si penjaga kebun melakukan pemukulan balasan. Ironinya, masing-masing menggunakan kemauan dan kesempatan itu dengan ‘atas nama Tuhan’.
Di sini, saya baru mafhum ternyata betapa berartinya kemauan dan kesempatan itu. Setiap tindakan kita, baik yang baik maupun yang buruk, ternyata tidak dapat dipisahkan dengan ‘kemauan dan kesempatan’. Bahkan antara keduanya memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Seseorang yang hanya memiliki kemauan tanpa mempunyai kesempatan, maka ia tidak dapat berbuat apa-apa. Demikian pula dengan orang yang memiliki kesempatan tanpa dibarengi dengan kemauan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kemauan dan kesempatan merupakan kenikmatan yang luar biasa melebihi nikmat-nikmat yang lain, seperti kesehatan, kekayaan, pangkat dan lain-lainnya.
Dalam bahasa agama, kemauan mungkin dapat disandingkan padanannya dengan kehendak (iradah). Setiap orang memiliki kehendak atau kemauan. Bahkan dalam beberapa ayat al-Qur’an dinyatakan secara terang-terangan bahwa manusia dengan kehendaknya diberi kebebasan untuk menentukan apa yang akan dipilih untuk me[di]lakukan; manusia merdeka dalam mengaktualisasikan kemauanya.
Namun demikian, dengan tanpa bermaksud menyibukkan diri lebih jauh pada persoalan kehendak atau kemauan sebagaimana yang diperdebatkan oleh para ahli teolog muslim, kemauan merupakan potensi dasariah yang dimiliki oleh setiap insan. Persoalannya adalah tinggal bagaimana si pemiliknya mendayagunakan dan memenejnya. Mungkin atas dasar inilah, para sufi memandang kamauan sebagai ‘kehendak’ untuk mengenal dan mengabdi kepada Tuhan. Maka, kemauan pun menjadi kunci segalanya. Barangkali kemauan menjadi ‘akal kreatif’ (al-aql al-khallaq) yang dapat mengantarkan seseorang menuju semesta ketuhanan yang tak terbatas. Dan karena manusia tidak dapat melepaskan diri dari dimensi ruang dan waktu, maka jalan untuk mendayagunakan ‘akal kreatif’ (baca: kemauan) itu pun memiliki hubungan yang erat dengan kesempatan.
Seorang mahasiswa filsafat dan penjaga kebun, sebagaimana dalam ilustrasi cerita tersebut di atas, masing-masing memutuskan untuk (yang satu) memakan buah mangga yang tidak miliknya dengan mengatasnamakan Tuhan dan (yang satu lagi) memukul mahasiswa itu dengan mengatasnamakan Tuhan. Keduanya melakukan semua itu karena kemauan dan kesempatan yang mereka miliki. Jika akhir-akhir ini kita dihadapkan pada perseteruan antara ‘cicak dan buaya’ dalam kasus Bibit-Candra (KPK) dengan Polri, maka semua itu berpulang pada kemauan dan kesempatan. Dalam hal ini siapa yang menjadikan kemauan sebagai ‘akal kreatif’ untuk melakukan kejujuran? Kiranya cukup sulit untuk menjawab pertanyaan ini.
Yang jelas, mendayagunakan kemauan menjadi ‘akal kreatif’ dan bukan ‘akal destruktif’ merupakan tugas berat bagi setiap orang beragama. “Siapa yang hari ini lebih jelek daripada hari kemarin, maka ia terlaknat. Siapa yang hari ini sebanding dengan hari kemarin, maka ia merugi. Dan siapa yang hari ini lebih baik dengan hari kemarin, maka ia beruntung,” demikian dikatakan dalan sebuah hadits nabi Saw. Setiap orang memiliki kemauan dan kesempatan untuk melakukan sesuatu yang terbaik bagi diri dan orang di sekitarnya. Sebaliknya, dengan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki, setiap orang bisa berbuat yang terjelek bagi diri dan orang lain. Mendayagunakan kemauan menjadi ‘akal kreatif’ butuh pada perjuangan yang tidak gampang (al-jihad al-akbar). Wallahu al’lam! [mf]
No comments:
Post a Comment